Sistem dan Struktur Politik dan Ekonomi Masa
Demokrasi Parlementer (1950-1959)
A.
Perkembangan Politik Masa Demokrasi
Liberal
1.
Sistem
Pemerintahan
Bangsa kita sebenarnya adalah
bangsa pembelajar. Indonesia sampai dengan tahun 1950an telah menjalankan dua sistem
pemerintahan yang berbeda, yaitu sistem presidensial dan sistem parlementer.
Tidak sampai satu tahun setelah kemerdekaan, sistem pemerintahan presidensial
digantikan dengan sistem pemerintahan parlementer. Hal ini ditandai dengan
pembentukan kabinet parlementer pertama pada November 1945 dengan Syahrir
sebagai perdana menteri. Sejak saat itulah jatuh bangun kabinet pemerintahan di
Indonesia terjadi. Namun pelaksanaan sistem parlementer ini tidak diikuti
dengan perubahan UUD. Baru pada masa Republik Indonesia Serikat pelaksanaan sistem
parlementer dilandasi oleh Konstitusi, yaitu Konstitusi RIS. Begitu juga pada
masa Demokrasi Liberal, pelaksanaan sistem parlementer dilandasi oleh UUD
Sementara 1950 atau dikenal dengan Konstitusi Liberal.
Ketika Indonesia kembali menjadi
negara kesatuan, UUD yang digunakan sebagai landasan hukum Republik Indonesia
bukan kembali UUD 1945, sebagaimana yang ditetapkan oleh PPKI pada awal
kemerdekaan, namun menggunakan UUD Sementara 1950. Sistem pemerintahan negara
menurut UUD Sementara 1950 adalah sistem parlementer. Artinya Kabinet disusun
menurut perimbangan kekuatan kepartaian dalam parlemen dan sewaktu-waktu dapat
dijatuhkan oleh wakil-wakil partai dalam parlemen. Presiden hanya merupakan
lambang kesatuan saja. Hal ini dinamakan pula Demokrasi Liberal, sehingga era
ini dikenal sebagai zaman Demokrasi Liberal. Sistem kabinet masa ini berbeda
dengan sistem kabinet RIS yang dikenal sebagai Zaken Kabinet.
Salah satu ciri yang nampak dalam
masa ini adalah kerap kali terjadi penggantian kabinet. Mengapa sering kali
terjadi pergantian kabinet? Hal ini terutama disebabkan adanya perbedaan
kepentingan diantara partaipartai yang ada. Perbedaan diantara partai-partai
tersebut tidak pernah dapat terselesaikan dengan baik sehingga dari tahun 1950
sampai tahun 1959 terjadi silih berganti kabinet mulai Kabinet Natsir (Masyumi)
1950-1951; Kabinet Sukiman (Masyumi) 1951-1952; Kabinet Wilopo (PNI) 1952-1953;
Kabinet Ali Sastroamijoyo I (PNI) 1953-1955; Kabinet Burhanuddin Harahap
(Masyumi) 1955-1956; Kabinet Ali Sastroamijoyo II (PNI) 1956-1957 dan Kabinet
Djuanda (Zaken Kabinet) 1957-1959.
Kalau kita perhatikan garis besar
perjalanan kabinet di atas, nampak bahwa mula-mula Masyumi diberi kesempatan
untuk memerintah, kemudian PNI memegang peranan terutama setelah Pemilihan Umum
1955. Namun PNI pun tidak bisa bertahan lama karena tidak mampu menyelesaikan
permasalahan yang dihadapi yang akhirnya dibentuk zaken kabinet di bawah
pimpinan Ir. Djuanda.
Kabinet-kabinet tersebut pada
umumnya memiliki program yang tujuannya sama, yaitu masalah keamanan,
kemakmuran dan masalah Irian Barat (saat ini Papua Barat). Namun setiap kabinet
memiliki penekanan masing-masing, kabinet yang dipimpin Masyumi menekankan
pentingnya penyempurnaan pimpinan TNI, sedangkan kabinet yang dipimpin oleh PNI
sering menekankan pada masalah hubungan luar negeri yang menguntungkan
perjuangan pembebasan Irian Barat dan pemerintahan dalam negeri. Apabila kita
teliti kabinet-kabinet tersebut satu persatu maka akan nampak halhal yang
menarik. Kabinet Natsir (1950-1951), ketika menyusun kabinetnya, Natsir
bermaksud menyusun kabinet dengan melibatkan sebanyak mungkin partai agar
kabinetnya mencerminkan sifat nasional dan mendapat dukungan parlemen yang
besar. Namun pada kenyataannya, Natsir kesulitan membentuk kabinet seperti yang
diinginkan, terutama kesulitan dalam menempatkan orang-orang PNI dalam kabinet.
Sehingga Kabinet Natsir yang terbentuk pada 6 September 1950, tidak melibatkan
PNI di dalamnya. PNI menjadi oposisi bersama PKI dan Murba.
Latar belakang masalah dalam
pembentukan kabinet sering kali menjadi faktor yang menyebabkan goyah dan
jatuhnya kabinet. Hal ini terlihat ketika Kabient Natsir menjalankan
pemerintahannya, kelompok oposisi segera melancarkan kritik terhadap jalannya
pemerintahan Natsir. Kabinet Natsir dihadapkan pada mosi Hadikusumo dari PNI
yang menuntut agar pemerintah mencabut Peraturan Pemerintah No 39 tahun 1950
tentang pemilihan anggota lembaga perwakilan daerah. Lembaga-lembaga perwakilan
daerah yang sudah dibentuk atas dasar Peraturan Pemerintah no 39 tahun 1950
oleh Kabinet Hatta, supaya diganti dengan undang-undang yang baru yang bersifat
demokratis karena dalam PP no 39 dalam menentukan pemilihannya dilakukan secara
bertingkat. Berdasarkan pemungutan suara di parlemen, mosi Hadikusumo mendapat
dukungan dari parlemen. Hal ini menyebabkan menteri dalam negeri mengundurkan
diri. Kondisi ini menyebabkan hubungan kabinet dengan parlemen tidak lancar
yang akhirnya menyebabkan Natsir menyerahkan mandatnya kepada Soekarno pada 21
Maret 1951.
Jatuhnya Kabinet Natsir, membuat
Presiden Soekarno mengadakan pembicaraan dengan para pemimpin partai untuk
memilih tim formatur kabinet yang kemudian menghasilkan Kabinet Sukiman pada
tanggal 26 April 1951. Berbeda dengan kabinet sebelumnya yang tidak melibatkan
PNI dalam pemerintahannya, kabinet Sukiman berhasil melibatkan PNI di dalamnya,
sehingga Kabinet Sukiman didukung oleh dua partai besar, Masyumi dan PNI.
Partai-partai pendukung Kabinet Sukiman, melalui menteri-menterinya yang duduk
dalam pemerintahan, berusaha merealisasi program politik masing-masing,
meskipun kabinet telah memiliki program kerja tersendiri. Hal ini merupakan
benih-benih keretakan yang melemahkan kabinet. Sebagai contoh adalah Menteri
Dalam Negeri Mr. Iskaq (PNI) yang menginstruksikan untuk menonaktifkan
DPRD-DPRD yang terbentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 39/ 1950. Selain
itu, Iskak juga mengangkat orang-orang PNI menjadi Gubernur Jawa Barat dan
Sulawesi. Tindakan ini yang menimbulkan pertikaian politik dan konflik
kepentingan.
Kebijakan lain yang menimbulkan
masalah dalam hubungan antara pemerintah dan parlemen adalah ketika Menteri
Kehakiman, Muhammad Yamin, membebaskan 950 orang tahanan SOB (Staat Van
Oorlog en Beleg, negara dalam keadaan bahaya perang) tanpa persetujuan
Perdana Menteri dan anggota kabinet lainnya. Kebijakan ini ditentang oleh
Perdana Menteri Sukiman dan kalangan militer yang mengakibatkan Muhammad Yamin
meletakkan jabatannya sebagai menteri kehakiman.
Kondisi Kabinet Sukiman semakin
terguncang ketika muncul mosi tidak percaya dari Sunarjo (PNI). Munculnya mosi
ini berkaitan dengan penandatanganan perjanjian Mutual Security Act (MSA)
antara Menteri Luar Negeri Achmad Subardjo dan Merle Cochran, Duta Besar
Amerika Serikat. Hal ini berawal dari Nota Jawaban yang diberikan Subardjo
terhadap Cochran yang berisi pernyataan bahwa Indonesia bersedia menerima
bantuan dari Amerika Serikat berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan dalam
MSA. Nota Menteri Luar Negeri ini memiliki kekuatan seperti suatu perjanjian
internasional. Tindakan Subardjo ini dianggap sebagai suatu langkah
kebijaksanaan politik luar negeri yang dapat memasukkan Indonesia ke dalam
lingkungan strategi Amerika Serikat, sehingga menyimpang dari asas politik luar
negeri bebas aktif. Mosi ini kemudian disusul oleh pernyataan PNI agar kabinet
mengembalikan mandatnya kepada presiden untuk mengatasi kesulitan-kesulitan
yang dihadapi. Akhirnya, dengan didahului pengunduran diri Achmad Subardjo
selaku Menteri Luar Negeri, Sukiman pun kemudian menyerahkan mandatnya kepada
Presiden Soekarno pada 23 Februari 1952.
Kalau dibandingkan dengan Kabinet
Natsir, dalam Kabinet Sukiman jelas menunjukkan bahwa partai-partailah yang
memegang pemerintahan. Mulai dari menyusun program, portopolio, komposisi
personalia, pelaksanaan dan tanggung jawab serta cara penyelesaian masalah
sepenuhnya terletak ditangan partai. Partai-partai yang ada pada waktu itu
belum nampak menonjolkan ideologi masing-masing, perhatiannya masih ditujukan
pada pemecahan masalah-masalah praktis yang dihadapi.
Kemudian Presiden Soekarno
memberikan mandat kepada golongan moderat dari PNI sehingga terbentuk kabinet
Wilopo pada 30 Maret 1952. Kabinet ini mendapat dukungan yang lebih luas
dibandingkan dengan kabinet sebelumnya, yaitu dengan masuknya PSI dan PSII
dalam pemerintahan. Dukungan ini memperkuat upaya kabinet dalam memperoleh
dukungan mayoritas di Parlemen. Kondisi ini mempengaruhi iklim politik dalam
kabinet dan juga hubungan antarpartai. Ikut sertanya PSII dan Parindra dalam
pemerintahan, dan karena PKI, sejak Kabinet Amir Syarifuddin, selalu menjadi
oposisi, mendukung Kabinet Wilopo, maka Badan Permusyawaratan Partai-partai
(PKI, PSII, Perti, Partai Buruh, Partai Murba, Permai, Partai Tani Indonesia,
PRN, Parindra, Partai Rakyat Indonesia dan Partai Indo Nasional) kehilangan
artinya dan menghentikan kegiatan-kegiatannya. Dengan adanya hubungan politik
baru ini, praktis berakhirlah aksi-aksi pemogokan yang banyak terjadi pada masa
pemerintahan Kabinet Sukiman.
Kabinet ini memiliki tugas pokok
menjalankan persiapan pemilihan umum untuk memilih anggota parlemen dan anggota
konstituante. Namun sebelum tugas ini dapat diselesaikan, kabinet ini harus
meletakkan jabatannya. Faktor yang menyebabkannya antara lain peristiwa 17
Oktober 1952.
Pada saat itu ada desakan dari
pihak tertentu agar Presiden Soekarno segera membubarkan Parlemen yang tidak
lagi mencerminkan keinginan rakyat. Peristiwa ini dimanfaatkan oleh golongan
tertentu dalam tubuh TNI-AD untuk kepentingan sendiri. Kelompok ini tidak
menyetujui Kolonel Nasution sebagai KSAD. Pihak-pihak tertentu dalam parlemen
menyokong dan menuntut agar diadakan perombakan dalam pimpinan Kementrian
Pertahanan dan TNI. Ini dianggap oleh pimpinan TNI sebagai campur tangan sipil
dalam urusan militer. Setelah itu
pimpinan TNI menuntut Presiden membubarkan Parlemen. Namun Presiden
menolak tuntutan ini, sehingga KSAD dan KSAP diberhentikan dari jabatannya.
Keberlangsungan Kabinet Wilopo
semakin terancam ketika terjadi peristiwa Tanjung Morawa. Peristiwa ini terkait
dengan pembebasan tanah milik Deli Planters Vereeniging (DPV). Tanah ini
sebelumnya sudah digarap penduduk, kemudian diminta untuk dikembalikan kepada
DPV. Usaha pembebasan tanah ini mendapat perlawanan dari penduduk. Karena
menghadapi hambatan, pemerintah kemudian menggunakan alat-alat kekuasaan negara
untuk memindahkan penduduk dari lokasi tersebut. Atas perintah Gubernur
Sumatera Timur, tanah garapan tersebut kemudian ditraktor oleh polisi yang
kemudian mendapatkan perlawanan dari petani yang mengakibatkan insiden yang
menelan korban meninggalnya 5 orang petani. Peristiwa ini memunculkan mosi di
Parlemen yang menuntut kepada pemerintah agar menghentikan sama sekali usaha
pengosongan tanah yang diberikan kepada DPV sesuai dengan keputusan
Pemerintahan Sukiman dan semua tahanan yang terkait dengan peristiwa Tanjung
Morawa segera dibebaskan. Desakan-desakan ini akhirnya membuat Kabinet Wilopo
jatuh.
Jatuhnya Wilopo membuat Presiden
Soekarno mengalihkan mandatnya ke partai lain, setelah Masyumi dan PNI
mengalamai kegagalan. Presiden menetapkan Wongsonegoro dari Partai Indonesia
Raya (PIR) dan Kabinet terbentuk pada 30 Juli 1953 dengan Ali Sastroamidjojo
sebagai Perdana Menteri. Kabinet ini bertujuan melanjutkan tugas Kabinet
Wilopo, menyelenggarakan Pemilihan Umum untuk memilih anggota Parlemen dan
Anggota Dewan Konstituante. Sekalipun kabinet ini berhasil dalam politik luar
negeri, yaitu menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika pada April 1955, namun
harus meletakkan jabatannya sebelum tugas utamanya dapat dilaksanakan. Faktor
utama yang menyebabkan jatuhnya kabinet adalah masalah pimpinan TNIAD yang
berpangkal pada peristiwa 17 Oktober 1952. Calon pimpinan TNI yang diajukan
kabinet ini ditolak oleh korps perwira, kelompok Zulkifli Lubis. sehingga
timbul krisis kabinet. Menghadapi persoalan dalam tubuh TNIAD, Parlemen
mengajukan mosi tidak percaya terhadap menteri pertahanan. Sebagai dampak dari
mosi tersebut, Fraksi Progresif dalam Parlemen menarik Mr. Iwa Kusumasumantri
dari jabatannya sebagai menteri pertahanan pada 12 Juli 1955. Tidak lama
berselang setelah itu kabinet akhirnya menyerahkan mandatnya kepada Presiden
Soekarno pada 24 Juli 1955.
Setelah Kabinet Ali
Sastroamidjojo I dinyatakan demisioner, Hatta selaku pejabat Presiden, Presiden
Soekarno sedang menunaikan ibadah haji, segera mengadakan pertemuan dengan
pimpinan partai untuk menentukan formatur kabinet. Formatur kabinet mempunyai
tugas pokok membentuk kabinet dengan dukungan yang cukup dari parlemen yang
terdiri dari orang-orang yang jujur dan disegani. Tuntutan ini kemudian
berhasil dipenuhi oleh Burhanuddin Harahap selaku formatur yang ditunjuk oleh
Hatta. Pada tanggal 11 Agustus 1955, Kabinet yang dipimpin oleh Burhanuddin
Harahap diumumkan.
Kabinet Burhanuddin Harahap
mempunyai tugas penting untuk menyelenggarakan pemilihan umum. Tugas tersebut
berhasil dilaksanakan, Meskipun harus melalui rintangan-rintangan yang berat.
Pada tanggal 27 September 1955 pemilihan umum untuk memilih anggota parlemen
berhasil dilangsungkan dan pemilihan anggota Dewan Konstituante dilakukan pada
15 Desember 1955. Setelah menyelesaikan tugasnya Kabinet Burhanuddin meletakkan
jabatannya. Kemudian dibentuk suatu kabinet baru berdasarkan kekuatan partai
politik yang ada dalam parlemen baru hasil pemilihan umum. Selain masalah
pemilihan umum, kabinet ini juga berhasil menyelesaikan permasalahan dalam
tubuh TNI-AD dengan diangkatnya kembali Kolonel Nasution sebagai KSAD pada
Oktober 1955. Program lainnya yang berusaha dilaksanakan pada masa kabinet ini
adalah masalah politik luar negeri dan perundingan masalah Irian Barat.
Perkembangan politik pasca
pemilihan umum 1955 memperlihatkan tanda renggangnya dwi tunggal Soekarno
Hatta. Pada tanggal 1 Desember 1955, Hatta mengundurkan diri dari jabatan
sebagai Wakil Presiden. Pengunduran diri Hatta ini merupakan reaksi politis
atas ketidakcocokan Hatta terhadap pernyataan yang dikeluarkan Presiden
Soekarno. Dalam salah satu pidatonya Presiden Soekarno mengatakan bahwa ia akan
sangat gembira apabila para pemimpin partai berunding sesamanya dan memutuskan
bersama untuk mengubur partai-partai.
Hatta sebagai seorang demokrat
masih percaya pada sistem demokrasi yang bercirikan banyak partai. Perbedaan
antara Soekarno dan Hatta tidak hanya muncul pada tahun 1950an, namun sejak
masa pergerakan nasional pun kedua tokoh ini telah terjadi perbedaan pemikiran.
Masa perjuangan untuk mencapai kemerdekaan dan perjuangan revolusi membawa kedua
tokoh ini melupakan perbedaan yang ada sehingga disebut dwi tunggal. Namun,
setelah tahun 1950an tampak perbedaan menyangkut masalah demokrasi telah
memecahkan mitos dwi tunggal. Sistem demokrasi konstitusional sangat didambakan
Hatta sedangkan Soekarno menganggap sistem tersebut tidak cocok untuk bangsa
Indonesia.
Soekarno yakin bahwa gerakan
komunisme bisa dikendalikan, sedangkan Hatta sangat menentang gerakan komunisme
dan menganggapnya sebagai bahaya laten yang harus dilenyapkan.
Pergolakan politik dan keadaan
keamanan yang semakin memburuk telah mendorong Soekarno mengeluarkan Konsepsi
Presiden pada tanggal 21 Februari 1957. Sejak saat itu Presiden Soekarno
mengabil alih pemerintahan dan mendorong dilaksanakannya Demokrasi Terpimpin,
suatu konsep demokrasi yang sangat diidamkan oleh Soekarno namun sangat
ditentang oleh Hatta. Sikap Hatta ini diungkapkannya dalam tulisannya Demokrasi
Kita. Hatta menuliskan bahwa “bagi saya yang lama bertengkar dengan Soekarno
tentang bentuk dan susunan pemerintahan yang efisien ada baiknya diberikan
kesempatan yang sama dalam waktu yang layak apakah sistem itu akan menjadi
suatu sukses atau kegagalan”.
Penunjukkan tim formatur untuk
membentuk kabinet setelah Pemilihan Umum 1955 agar berbeda dengan sebelumnya.
Setelah Pemilihan Umum 1955, Presiden Soekarno menunjuk partai pemenang pemilu
sebagai pembentuk formatur kabinet. PNI yang ditunjuk Soekarno sebagai formatur
kabinet mengajukan Ali Sastroamidjojo dan Wilopo calon formatur kabinet.
Presiden Soekarno kemudian memilih Ali Sastroamidjojo. Kabinet yang terbentuk
berintikan koalisi PNI, Masyumi dan NU. Dalam pembentukan kabinet tidak ada
kesulitan yang prinsipil. Koalisi yang terbentuk memunculkan pertanyaan mengapa
PKI yang menduduki peringkat keempat pemilu tidak disertakan. Hal ini karena
Masyumi menolak masuknya PKI dalam kabinet. Pada waktu formatur menyerahkan
susunan kabinet kepada Presiden Soekarno untuk disetujui, Presiden tidak
langsung menyetujui. Ia kecewa dengan susunan kabinet yang akan dibentuk yang
tidak melibatkan PKI. Presiden menghendaki masuknya PKI dalam kabinet. Namun
kehendak Presiden tidak bisa diterima oleh formatur karena susunan kabinet yang
dibentuk merupakan hasil persetujuan dari partai-partai yang akan berkoalisi.
Menyikapi hal tersebut, Presiden
Soekarno kemudian berusaha mendesak para tokoh partai PNI, Masyumi, NU dan PSII
agar mau menerima wakil PKI atau pun simpatisannya untuk duduk dalam kabinet.
Namun kehendak Presiden Soekarno tersebut tidak bisa diterima oleh tokoh-tokoh
dari ketiga partai tersebut. Presiden Soekarno pun akhirnya menyetujui susunan
kabinet yang telah disusun oleh tim formatur, dengan memasukkan Ir. Djuanda
dalam kabinet. Pada tanggal 20 Maret 1956, kabinet koalisi nasionalis-Islam
dengan Ali Sastroamijdojo selaku Perdana Menteri. Kabinet ini dikenal sebagai
Kabinet Ali II (1956-1957). Kabinet Ali II merupakan kabinet pertama yang
memiliki Rencana Lima Tahun yang antara lain isinya mencakup masalah Irian
Barat, masalah otonomi daerah, masalah perbaikan nasib buruh, penyehatan
keuangan dan pembentukan ekonomi keuangan.
Dalam menjalankan programnya
Kabinet Ali II muncul berbagai peristiwa-peristiwa baru antara lain gagal
memaksa Belanda untuk menyerahkan Irian Barat yang akhirnya membatalkan
perjanjian KMB. Munculnya masalah anti Cina diantara kalangan rakyat yang
kurang senang melihat kedudukan istimewa golongan ini dalam perdagangan. Selain
itu mulai meningkatnya sikap kritis daerah terhadap pusat. Kondisi ini
mendorong lemahnya Kabinet Ali yang dibentuk berdasarkan hasil pemilihan umum
pertama. Peristiwa-peristiwa di atas membuat kewibawaan Kabinet Ali
Sastroamidjojo semakin turun. Kurangnya tindakan tegas dari kabinet terhadap
pergolakan yang muncul membuat Ikatan Pembela Kemerdekaan Indonesia (IPKI) dan
Masyumi menarik para menterinya dari kabinet. Berbagai upaya telah dilakukan
untuk menyelamatkan kabinet oleh Ali Sastro dan Idham Khalid, namun tidak
berhasil. Ali akhirnya menyerahkan mandatnya kepada Presiden Soekarno pada
tanggal 14 Maret 1957.
Demisionernya Kabinet Ali II dan
munculnya gerakan-gerakan separatis di daerah-daerah membuat Presiden Soekarno
mengumumkan berlakunya Undang-undang negara dalam keadaan darurat perang atau State
van Oorlog en Beleg (SOB) di seluruh Indonesia. Keadaan ini membuat
angkatan perang mempunyai wewenang khusus untuk mengamankan negara. Menyikapi
situasi jatuh bangunnya kabinet, Soekarno melalui amanat proklamasi 17 Agustus
1957 menyatakan bahwa:
“Sistem politik
yang terbaik dan tercocok dengan kepribadian dan dasar hidup bangsa Indonesia!
Ya, nyata demokrasi yang sampai sekarang ini kita praktikan di Indonesia, bukan
satu sistem politik terbaik dan tercocok dengan kepribadian dan dasar hidup
bangsa Indonesia! Nyata kita dengan apa yang kita namakan dengan demokrasi itu,
tidak menjadi makin kuat dan makin sentosa, melainkan menjadi makin rusak dan
makin retak, makin bubrah dan makin bejat. (Presiden Soekarno, Amanat
Proklamasi III, 1956-1960, Inti Idayu Press dan Yayasan Pendidikan Soekarno,
1986).
Untuk mewujudkan keinginan
tersebut, pada tanggal 21 Februari 1957 Presiden Soekarno mengundang ke Istana
Negara para tokoh partai dari tingkat daerah hingga pusat, dan tokoh militer
untuk mendengarkan pidatonya yang dikenal dengan Konsepsi Presiden. Konsepsi
tersebut bertujuan untuk mengatasi dan menyelesaikan krisis kewibawaan kabinet
yang sering dihadapi dengan dibentuknya kabinet yang anggotanya terdiri dari 4
partai pemenang pemilu dan dibentuknya Dewan Nasional yang anggotanya dari
golongan fungsional dalam masyarakat. Sayangnya gagasan ini dikeluarkan tanpa
terlebih dahulu ada pemberitahuan kepada kabinet yang tengah mengalami masalah
yang cukup berat.
Presiden Soekarno menyatakan
bahwa demokrasi liberal yang dijalankan di Indonesia tidak sesuai dengan jiwa
bangsa Indonesia, dan merupakan demokrasi impor. Ia ingin menggantinya dengan
demokrasi yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia, yang disebutnya
dengan Demokrasi Terpimpin. Konsepsi presiden ini menuai perdebatan yang cukup
sengit baik di parlemen maupun di luar parlemen.
Usaha Presiden Soekarno untuk
mempengaruhi partai-partai agar mau membentuk kabinet berkaki empat akhirnya
gagal. Kaum politisi dan partaipartai tetap mau melakukan politik “dagang
sapi”, yaitu tawar menawar kedudukan untuk membentuk kabinet koalisi. Akhirnya,
Presiden menunjuk dirinya sendiri, “Dr. Ir. Soekarno, warga negara, sebagai
formatur untuk membentuk kabinet ekstraparlementer yang akan bertindak tegas
dan yang akan membantu Dewan Nasional sesuai konsepsi Presiden. Soekarno
berhasil membentuk Kabinet Karya dengan Ir. Djuanda, tokoh yang tidak
berpartai, sebagai Perdana Menteri dengan tiga wakil perdana menteri
masing-masing dari PNI, NU dan Parkindo. Kabinet ini resmi dilantik pada 9
April 1957 dan dikenal dengan nama Kabinet Karya. Kabinet ini tidak menyertakan
Masyumi di dalamnya.
Kabinet Djuanda merupakan Zaken
Kabinet dengan beban tugas yang harus dijalankan adalah perjuangan
membebaskan Irian Barat, dan menghadapi keadaan ekonomi dan keuangan yang
memburuk. Kabinet Djuanda untuk menyelesaikan tugasnya menyusun program kerja
yang terdiri dari lima pasal yang dikenal dengan Panca Karya, sehingga
kabinetnya pun dikenal sebagai Kabinet Karya. Kelima program tersebut meliputi
1.
Membentuk
Dewan
2.
Normalisasi
keadaan Republik
3.
Melancarkan
pelaksanaan pembatalan KMB
4.
Perjuangan
Irian
5.
Mempergiat
pembangunan
Dewan Nasional
merupakan amanat dari Konsepsi Presiden 1957. Dewan ini mempunyai fungsi
menampung dan menyalurkan keinginan-keinginan kekuatan sosial yang ada dalam
masyarakat dan juga sebagai penasihat pemeritah untuk melancarkan roda
pemerintahan dan menjaga stabilitas politik untuk mendukung pembangunan negara.
Dewan ini dipimpin langsung oleh Presiden Soekarno yang anggota-anggotanya
terdiri dari golongan fungsional.
Untuk
menormalisasi keadaan yang diakibatkan oleh pergolakan daerah, Kabinet Djuanda
pada 10-14 September 1957 melangsungkan Musyawarah Nasional (Munas) yang
dihadiri oleh tokoh-tokoh nasional dan daerah, diantaranya adalah mantan
Presiden Mohammad Hatta. Musyawarah ini dilaksanakan di gedung Proklamasi Jalan
Pegangsaan Timur No. 56. Musyawarah ini membahas permasalahan-permasalahan
pemerintahan, persoalan daerah, ekonomi, keuangan, angkatan perang, kepartaian
serta masalah Dwitunggal Soekarno Hatta. Musyawarah ini kemudian menghasilkan
keputusan yang mencerminkan suasana saling pengertian. Pada akhir acara Munas
dibacakan pernyataan bersama yang ditandatangani oleh Soekarno Hatta yang
bunyinya antara lain bahwa:
“... adalah
kewajiban mutlak kami untuk turut serta dengan seluruh rakyatIndonesia,
pemerintah RI serta segenap alat-alat kekuasaan negara, membina dan membela
dasar-dasar proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 dalam kedudukan apa pun juga
adanya”. (Sketsa Perjalanan Bangsa Berdemokrasi, Dep.Kominfo, 2005)
Untuk
menindaklanjuti hasil Munas, dan dalam upaya untuk mempergiat pembangunan
dilaksanakan Musyawarah Nasional Pembangunan. Musyawarah ini bertujuan khusus
untuk membahas dan merumuskan usahausaha pembangunan sesuai dengan keinginan
daerah. Oleh karena itu, kegiatan ini dihadiri juga oleh tokoh-tokoh pusat dan
daerah serta semua pemimpin militer dari seluruh teritorium, kecuali Letkol.
Achmad Husein dari Komando Militer Sumatera Tengah.
Perlu kalian
ketahui bahwa pada masa Demokrasi Parlementer ini luas wilayah Indonesia tidak
seluas wilayah Indonesia saat ini. Karena Indonesia masih menggunakan peraturan
kolonial terkait dengan batas wilayah, Zeenen Maritieme Kringen Ordonantie,
1939 yang dalam pasal 1 menyatakan bahwa:
“laut
territorial Indonesia itu lebarnya 3 mil diukur dari garis air rendah
(laagwaterlijn) dari pada pulau-pulau dan bagian pulau yang merupakan bagian
dari wilayah daratan (grondgebeid) dari Indonesia.”
Berdasarkan
pasal tersebut, Indonesia jelas merasa dirugikan, lebar laut 3 mil dirasakan
tidak cukup menjamin dengan sebaik-baiknya kepentingan rakyat dan negara. Batas
3 mil dari daratan menyebabkan adanya laut-laut bebas yang memisahkan
pulau-pulau di Indonesia. Hal ini menyebabkan kapal-kapal asing bebas
mengarungi lautan tersebut tanpa hambatan. Kondisi ini akan menyulitkan
Indonesia dalam melakukan pengawasan wilayah Indonesia. Sebagai suatu negara
yang berdaulat Indonesia berhak dan berkewajiban untuk mengambil
tindakan-tindakan yang dianggap perlu untuk melindungi keutuhan dan keselamatan
Republik Indonesia. Melihat kondisi inilah kemudian pemerintahan Kabinet
Djuanda mendeklarasikan hukum teritorial kelautan nusantara yang berbunyi:
Segala perairan
di sekitar, diantara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagan pulau-pulau
yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas
atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar daripada wilayah daratan Negara
Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian dari pada perairan
nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak dari pada Negara Republik
Indonesia. Lalu lintas yang damai di perairan pedalaman ini bagi kapal-kapal
asing dijamin selama dan sekedar tidak bertentangan dengan/ menganggu
kedaulatan dan keselamatan negara Indonesia. (Sumber: Hasjim Djalal, 2006)
Dari deklarasi
tersebut dapat kita lihat bahwa faktor keamanan dan pertahanan merupakan aspek
penting, bahkan dapat dikatakan merupakan salah satu sendi pokok kebijaksanaan
pemerintah mengenai perairan Indonesia. Dikeluarkannya deklarasi ini membawa
manfaat bagi Indonesia yaitu mampu menyatukan wilayah-wilayah Indonesia dan
sumber daya alam dari laut bisa dimanfaatkan dengan maksimal. Deklarasi
tersebut kemudian dikenal sebagai Deklarasi Djuanda.
Deklarasi
Djuanda mengandung konsep bahwa tanah air yang tidak lagi memandang laut
sebagai alat pemisah dan pemecah bangsa, seperti pada masa kolonial, namun
harus dipergunakan sebagai alat pemersatu bangsa dan wahana pembangunan
nasional. Deklarasi Djuanda membuat batas kontinen laut kita diubah dari 3 mil
batas air terendah menjadi 12 mil dari batas pulau terluar. Kondisi ini membuat
wilayah Indonesia semakin menjadi luas dari sebelumnya hanya 2.027.087 km2
menjadi 5.193.250 km2 tanpa memasukan wilayah Irian Barat, karena
wilayah itu belum diakui secara internasional. Hal ini berdampak pula terhadap
titik-titik pulau terluar yang menjadi garis batas yang mengelilingi RI menjadi
sepanjang 8.069,8 mil laut. Meskipun Deklarasi Djuanda belum memperoleh
pengakuan internasional, pemerintah RI kemudian menetapkan deklarasi tersebut
menjadi UU No. 4/PRP/1960 tentang perairan Indonesia.
Dikeluarkannya
Deklarasi Djuanda membuat banyak negara yang keberatan terhadap konsepsi
landasan hukum laut Indonesia yang baru. Untuk merundingkan penyelesaian
masalah hukum laut ini, pemerintah Indonesia melakukan harmonisasi hubungan
diplomatik dengan negara-negara tetangga. Selain itu Indonesia juga melalui
konferensi Jeneva pada tahun 1958, berusaha mempertahankan konsepsinya yang
tertuang dalam deklarasi Djuanda dan memantapkan Indonesia sebagai Archipelagic
State Principle atau negara kepulauan.
Deklarasi
Djuanda ini baru bisa diterima di dunia internasional setelah ditetapkan dalam
Konvensi Hukum Laut PBB yang ke-3 di Montego Bay (Jamaika) pada tahun 1982 (United
Nations Convention On The Law of The Sea/ UNCLOS 1982). Pemerintah
Indonesia kemudian meratifikasinya dalam UU No.17/ 1985 tentang pengesahan
UNCLOS 1982 bahwa Indonesia adalah negara kepulauan. Setelah diperjuangkan
selama lebih dari dua puluh lima tahun, akhirnya pada 16 November 1994, setelah
diratifikasi oleh 60 negara, hukum laut Indonesia diakui oleh dunia
internasional. Upaya ini tidak lepas dari perjuangan pahlawan diplomasi kita,
Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja dan Prof. Dr. Hasjim Djalal, yang setia
mengikuti berbagai konferensi tentang hukum laut yang dilaksanakan PBB dari
tahun 1970an hingga tahun 1990an.
Pada masa
pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, tanggal 13 Desember dicanangkan
sebagai hari Nusantara dan ketika masa Presiden Megawati dikeluarkan keputusan
Presiden No. 126/2001 tentang hari Nusantara dan tanggal 13 resmi menjadi hari
perayaan nasional.
2.
Sistem
Kepartaian
Partai politik
merupakan suatu kelompok terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai
orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan dibentuknya partai
politik adalah untuk memperoleh, merebut dan mempertahankan kekuasaan secara
konstitusional. Jadi munculnya partai politik erat kaitannya dengan kekuasaan.
Paska proklamasi
kemerdekaan, pemerintahan RI memerlukan adanya lembaga parlemen yang berfungsi
sebagai perwakilan rakyat sesuai dengan amanat UUD 1945. Keberadaan parlemen,
dalam hal ini DPR dan MPR, tidak terlepas dari kebutuhan adanya perangkat
organisasi politik, yaitu partai politik. Berkaitan dengan hal tersebut, pada
23 Agustus 1945 Presiden Soekarno mengumumkan pembentukan Partai Nasional
Indonesia sebaga partai tunggal, namun keinginan Presiden Soekarno tidak dapat
diwujudkan. Gagasan pembentukan partai baru muncul lagi ketika pemerintah
mengeluarkan maklumat pemerintah pada tanggal 3 November 1945. Melalui maklumat
inilah gagasan pembentukan partai-partai politik dimunculkan kembali dan
berhasil membentuk partai-partai politik baru. Diantara partai-partai tersebut
tergambar dalam bagan berikut ini:
Sistem
kepartaian yang dianut pada masa demokrasi liberal adalah multi partai.
Pembentukan partai politik ini menurut Mohammad Hatta agar memudahkan dalam
mengontrol perjuangan lebih lanjut. Hatta juga menyebutkan bahwa pembentukan
partai politik ini bertujuan untuk mudah dapat mengukur kekuatan perjuangan
kita dan untuk mempermudah meminta tanggung jawab kepada pemimpin-pemimpin
barisan perjuangan. Walaupun pada kenyataannya partai-partai politik tersebut
cenderung untuk memperjuangkan kepentingan golongan dari pada kepentingan
nasional. Partai-partai politik yang ada saling bersaing, saling mencari
kesalahan dan saling menjatuhkan. Partai-partai politik yang tidak memegang
jabatan dalam kabinet dan tidak memegang peranan penting dalam parlemen sering
melakukan oposisi yang kurang sehat dan berusaha menjatuhkan partai politik
yang memerintah. Hal inilah yang menyebabkan pada era ini sering terjadi
pergantian kabinet, kabinet tidak berumur panjang sehingga program-programnya
tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya yang menyebabkan terjadinya
instabilitas nasional baik di bidang politik, sosial ekonomi dan keamanan.
Kondisi inilah
yang mendorong Presiden Soekarno mencari solusi untuk membangun kehidupan
politik Indonesia yang akhirnya membawa Indonesia dari sistem demokrasi liberal
menuju demokrasi terpimpin.
3.
Pemilihan
Umum 1955
Pelaksanaan
pemilihan umum 1955 bertujuan untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk
dalam parlemen dan dewan Konstituante. Pemilihan umum ini diikuti oleh
partai-partai politik yang ada serta oleh kelompok perorangan. Pemilihan umum
ini sebenarnya sudah dirancang sejak kabinet Ali Sastroamijoyo I (31 Juli
1953-12 Agustus 1955) dengan membentuk Panitia Pemilihan Umum Pusat dan Daerah
pada 31 Mei 1954. Namun pemilihan umum tidak dilaksanakan pada masa kabinet Ali
I karena terlanjur jatuh. Kabinet pengganti Ali I yang berhasil menjalankan
pemilihan umum, yaitu kabinet Burhanuddin Harahap.
Pelaksanaan
Pemilihan Umum pertama dibagi dalam 16 daerah pemilihan yang meliputi 208
kabupaten, 2139 kecamatan dan 43.429 desa. Pemilihan umum 1955 dilaksanakan
dalam 2 tahap. Tahap pertama untuk memilih anggota parlemen yang dilaksanakan
pada 29 September 1955 dan tahap kedua untuk memilih anggota Dewan Konstituante
(badan pembuat Undangundang Dasar) dilaksanakan pada 15 Desember 1955. Pada
pemilu pertama ini 39 juta rakyat Indonesia memberikan suaranya di kotak-kotak
suara.
Pemilihan
umum 1955 merupakan tonggak demokrasi pertama di Indonesia. Keberhasilan
penyelenggaraan pemilihan umum ini menandakan telah berjalannya demokrasi di
kalangan rakyat. Rakyat telah menggunakan hak pilihnya untuk memilih
wakil-wakil mereka. Banyak kalangan yang menilai bahwa pemilihan umum 1955
merupakan pemilu yang paling demokratis yang dilaksanakan di Indonesia.
Presiden
Soekarno dalam pidatonya di Istana Negara dan Parlemen pada 17 Agustus 1955
menegaskan bahwa “pemilihan umum jangan diundurkan barang sehari pun, karena
pada pemilihan umum itulah rakyat akan menentukan hidup kepartaian kita yang
tidak sewajarnya lagi, rakyatlah yang menjadi hakim”. Penegasan ini dikeluarkan
karena terdapat suara-suara yang meragukan terlaksananya pemilu sesuai dengan
jadwal semula.
Dalam
proses pemilihan umum 1955 terdapat 100 partai besar dan kecil yang mengajukan
calon-calonnya untuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan 82 partai besar dan
kecil untuk Dewan Konstituante. Selain itu masih ada 86 organisasi dan
perseorangan akan ikut dalam pemilihan umum. Dalam pendaftaran pemilihan tidak
kurang dari 60% penduduk Indonesia yang mendaftarkan namanya (kurang lebih 78
juta), angka yang cukup tinggi yang ikut dalam pesta demokrasi yang pertama.
(Feith, 1999) Pemilihan umum untuk anggota DPR dilaksanakan pada tanggal 29
September 1955. Hasilnya diumumkan pada 1 Maret 1956. Urutan perolehan suara
terbanyak adalah PNI, Masyumi, Nahdatul Ulama dan PKI. Empat perolehan suara
terbanyak memperoleh kursi sebagai berikut :
Pemilihan
Umum 1955 menghasilkan susunan anggota DPR dengan jumlah anggota sebanyak 250
orang dan dilantik pada tanggal 24 Maret 1956 oleh Presiden Soekarno. Acara
pelantikan ini dihadiri oleh anggota DPR yang lama dan menteri-menteri Kabinet
Burhanudin Harahap. Dengan terbentuknya DPR yang baru maka berakhirlah masa
tugas DPR yang lama dan penunjukkan tim formatur dilakukan berdasarkan jumlah
suara terbanyak di DPR.
Pemilihan
Umum 1955 selain memilih anggota DPR juga memilih anggota Dewan Konstituate.
Pemilihan Umum anggota Dewan Konstituante dilaksanakan pada 15 Desember 1955.
Dewan Konstituante bertugas untuk membuat Undang-undang Dasar yang tetap, untuk
menggantikan UUD Sementara 1950. Hal ini sesuai dengan ketetapan yang tercantum
dalam pasal 134 UUD Sementara 1950 yang berbunyi, “Konstituante (Sidang Pembuat
Undang-undang Dasar) bersama-sama pemerintah selekaslekasnya menetapkan Undang-undang
Dasar Republik Indonesia yang akan menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara
ini”.
Berdasarkan
hasil pemilihan tanggal 15 Desember 1955 dan diumumkan pada 16 Juli 1956,
perolehan suara partai-partai yang mengikuti pemilihan anggota Dewan Konstituante
urutannya tidak jauh berbeda dengan pemilihan anggota legislatif, empat besar
partainya adalah PNI, Masyumi, NU dan PKI.
Keanggotaaan
Dewan Konstituante terdiri dari anggota hasil pemilihan umum dan yang diangkat
oleh pemerintah. Pemeritah mengangkat anggota Konstituate jika ada golongan
penduduk minoritas yang turut dalam pemilihan umum tidak memperoleh jumlah
kursi sejumlah yang ditetapkan dalam UUD S 1950. Kelompok minoritas yang
ditetapkan jumlah kursi minimal adalah golongan Cina dengan 18 kursi, golongan
Eropa dengan 12 kursi dan golongan Arab 6 kursi.
Dalam
sidang-sidang Dewan Konstituante yang berlangsung sejak tahun 1956 hingga
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 tidak menghasilkan apa yang diamanatkan oleh UUD S
1950. Dewan memang berhasil menyelesaikan bagian-bagian dari rancangan UUD,
namun terkait dengan masalah dasar negara, Dewan Konstituante tidak berhasil
menyelesaikan perbedaan yang mendasar diantara usulan dasar negara yang ada.
Pembahasan
mengenai dasar negara mengalami banyak kesulitan karena adanya konflik
ideologis antar partai. Dalam sidang Dewan Konstituante muncul tiga usulan
dasar negara yang diusung oleh partai-partai; Pertama, Dasar negara Pancasila
diusung antara lain oleh PNI, PKRI, Permai, Parkindo, dan Baperki; Kedua, Dasar
negara Islam diusung antara lain oleh Masyumi, NU dan PSII; Ketiga, Dasar
negara Sosial Ekonomi yang diusung oleh Partai Murba dan Partai Buruh. Ketiga
usulan dasar negara ini kemudian mengerucut menjadi dua usulan Pancasila dan
Islam karena Sosial ekonomi tidak memperoleh dukungan suara yang mencukupi,
hanya sembilan suara.
Dalam
upaya untuk menyelesaikan perbedaan pendapat terkait dengan masalah dasar
negara, kelompok Islam mengusulkan kepada pendukung Pancasila tentang
kemungkinan dimasukannya nilai-nilai Islam ke dalam Pancasila, yaitu
dimasukkannya Piagam Jakarta 22 Juni 1945 sebagai pembukaan undang-undang dasar
yang baru. Namun usulan ini ditolak oleh pendukung Pancasila. Semua upaya untuk
mencapai kesepakatan diantara dua kelompok menjadi kandas dan hubungan kedua
kelompok ini semakin tegang. Kondisi ini membuat Dewan Konstituante tidak berhasil
menyelesaikan pekerjaannya hingga pertengahan 1958. Kondisi ini mendorong
Presiden Soekarno dalam amanatnya di depan sidang Dewan Konstituante
mengusulkan untuk kembali ke UUD 1945. Konstituante harus menerima UUD 1945 apa
adanya, baik pembukaan maupun batang tubuhnya tanpa perubahan.
Menyikapi
usulan Presiden, Dewan Konstituante mengadakan musyawarah dalam bentuk
pemandangan umum. Dalam sidang-sidang pemandangan umum ini Dewan Konstituante
pun tidak berhasil mencapai kuorum, yaitu dua pertiga suara dari jumlah anggota
yang hadir. Tiga kali diadakan pemungutan suara tiga kali tidak mencapai
kourum, sehingga ketua sidang menetapkan tidak akan mengadakan pemungutan suara
lagi dan disusul dengan masa reses (masa tidak bersidang). Ketika memasuki masa
sidang berikutnya beberapa fraksi tidak akan menghadiri sidang lagi. Kondisi
inilah mendorong suasana politik dan psikologis masyarakat menjadi sangat
genting dan peka. Kondisi ini mendorong
KSAD, Jenderal Nasution, selaku Penguasa Perang Pusat (Peperpu) dengan persetujuan
dari Menteri Pertahanan sekaligus
Perdana Menteri Ir. Djuanda, melarang sementara semua kegiatan politik dan
menunda semua sidang Dewan Konstituante.
Presiden
Soekarno mencoba mencari jalan keluar untuk menyelesaikan permasalahan yang ada
dengan mengadakan pembicaraan dengan tokoh-tokoh pemerintahan, anggota Dewan
Nasional, Mahkamah Agung dan pimpinan Angkatan Perang di Istana Bogor pada 4
Juli 1959. Hasil dari pembicaraan itu esok harinya, Minggu 5 Juli 1959,
Presiden Soekarno menetapkan Dekrit Presiden 1959 di Istana Merdeka. Isi pokok
dari Dekrit Presiden tersebut adalah membubarkan Dewan Konstituante, menyatakan
berlakunya kembali UUD 1945 dan menyatakan tidak berlakunya UUD Sementara 1950.
Dekrit juga menyebutkan akan dibentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) dalam waktu sesingkat-singkatnya.
B.
Mencari Sistem Ekonomi Nasional
1.
Pemikiran
Ekonomi Nasional
Pemikiran ekonomi pada 1950an
pada umumnya merupakan upaya mengembangkan struktur perekonomian kolonial
menjadi perekonomian nasional. Hambatan yang dihadapi dalam mewujudkan hal
tersebut adalah sudah berakarnya sistem perekonomian kolonial yang cukup lama.
Warisan ekonomi kolonial membawa dampak perekonomian Indonesia banyak didominasi
oleh perusahaan asing dan ditopang oleh kelompok etnis Cina sebagai penggerak
perekonomian Indonesia. Kondisi inilah yang ingin diubah oleh para pemikir
ekonomi nasional di setiap kabinet di era demokrasi parlementer. Upaya
membangkitkan perekonomian sudah dimulai sejak kabinet pertama di era demokrasi
parlementer, Kabinet Natsir.
Perhatian terhadap perkembangan
dan pembangunan ekonomi dicurahkan oleh Soemitro Djojohadikusumo. Ia
berpendapat bahwa pembangunan ekonomi Indonesia pada hakekatnya adalah
pembangunan ekonomi baru. Soemitro mencoba mempraktikkan pemikirannya tersebut
pada sektor perdagangan. Ia berpendapat bahwa pembangunan ekonomi nasional
membutuhkan dukungan dari kelas ekonomi menengah pribumi yang kuat. Oleh karena
itu, bangsa Indonesia harus sesegera mungkin menumbuhkan kelas pengusaha
pribumi, karena pengusaha pribumi pada umumnya bermodal lemah. Oleh karena itu,
pemerintah hendaknya membantu dan membimbing para pengusaha tersebut dengan
bimbingan konkret dan bantuan pemberian kredit. Jika usaha ini berhasil maka
secara bertahap pengusaha pribumi akan dapat berkembang maju dan tujuan
mengubah struktur ekonomi kolonial di bidang perdagangan akan berhasil.
Gagasan Soemitro kemudian
dituangkan dalam program Kabinet Natsir dalam wujud pencanangan Rencana Urgensi
Perekonomian (RUP) yang sering disebut juga dengan Plan Soemitro. Wujud dari
RUP tersebut kemudian dicanangkan Program Benteng. Program ini antara lain
mencadangkan impor barang-barang tertentu bagi kelompok bisnis pribumi, serta
membuka kesempatan bagi para pedagang pribumi membangun basis modal di bawah perlindungan
pemerintah. Selain tujuan tersebut, juga untuk menumbuhkan kaum pengusaha
pribumi agar mampu bersaing dalam usaha dengan para pengusaha keturunan Cina
dan asing lainnya. Upaya yang dilakukan pemerintah adalah memberi peluang usaha
sebesar-besarnya bagi pengusaha pribumi dengan bantuan kredit. Dengan upaya
tersebut diharapkan akan tercipta kelas pengusaha pribumi yang mampu
meningkatkan produktivitas barang dan modal domestik.
Sayangnya dalam pelaksanaan
muncul masalah karena dalam pelaksanaan Program Benteng, pemberian lisensi
impor banyak yang disalahgunakan. Mereka yang menerima lisensi bukanlah
orang-orang yang memiliki potensi kewiraswastaan yang tinggi, namun orang-orang
yang mempunyai hubungan khusus dengan kalangan birokrat yang berwenang
mendistribusikan lisensi dan kredit. Kondisi ini terjadi karena adanya
pertimbangan-pertimbangan politik. Akibatnya, pengusaha-pengusaha yang masuk
dalam Program Benteng lamban menjadi dewasa, bahkan ada yang menyalahgunakan
maksud pemerintah tersebut untuk mencari keuntungan yang cepat dengan menjual lisensi
impor yang dimilikinya kepada pengusaha impor yang sesungguhnya, yang
kebanyakan berasal dari keturunan Cina. Penyelewengan lain dalam pelaksanaan
Politik Benteng adalah dengan cara mendaftarkan perusahaan yang sesungguhnya
merupakan milik keturunan Cina dengan menggunakan nama orang Indonesia pribumi.
Orang Indonesia hanya digunakan untuk memperoleh lisensi, pada kenyataannya
yang menjalankan lisensi tersebut adalah perusahaan keturunan Cina. Perusahaan
yang lahir dari kerja sama tersebut dikenal sebagai perusahaan “Ali-Baba".
Ali mewakili Pribumi dan Baba mewakili warga keturuan Cina.
Usaha lain yang dilakukan
pemerintah untuk meningkatkan pengusaha pribumi dilakukan melalui “Gerakan
Asaat”. Gerakan Asaat memberikan perlindungan khusus bagi warga negara
Indonesia Asli dalam segala aktivitas usaha di bidang perekonomian dari
persaingan dengan pengusaha asing pada umumnya dan warga keturuan Cina pada
khususnya. Dukungan dari pemerintah terhadap gerakan ini terlihat dari
pernyataan yang dikeluarkan pemerintah pada Oktober 1956 bahwa pemerintah akan
memberikan lisensi khusus pada pengusaha pribumi. Ternyata kebijakan pemerintah
ini memunculkan reaksi negatif yaitu muncul golongan yang membenci kalangan
Cina. Bahkan reaksi ini sampai menimbulkan permusuhan dan pengrusakan terhadap
toko-toko dan harta benda milik masyarakat Cina serta munculnya perkelahian
antara masyarakat Cina dan masyarakat pribumi.
Pemerintah, selain melakukan
upaya perbaikan jangka panjang, juga melakukan upaya perbaikan jangka pendek
untuk menguatkan perekonomian Indonesia. Salah satunya adalah mengurangi jumlah
uang yang beredar dan mengatasi defisit anggaran. Untuk itu pada tanggal 20
Maret 1950, Menteri Keuangan, Syafrudin Prawiranegara, mengambil kebijakan
memotong uang dengan memberlakukan nilai setengahnya untuk mata uang yang
mempunyai nominal Rp2,50 ke atas. Kebijakan ini dikenal dengan istilah Gunting Syafrudin.
Upaya pembangunan ekonomi
nasional juga diwujudkan melalui program pembangunan rencana lima tahun,
1956-1960, yang disiapkan oleh Biro Perancang Nasional (BPN). Program ini
pertama kali dijalankan pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo II. Program
Pembangunan Rencana Lima Tahun berbeda dengan RUP yang lebih umum sifatnya.
Program Rencana Lima Tahun lebih bersifat teknis dan terinci serta mencakup
prioritas-prioritas proyek yang paling rendah. Tujuan dari Rencana Lima Tahun
adalah mendorong munculnya industri besar, munculnya perusahaan-perusahaan yang
melayani kepentingan umum dan jasa pada sektor publik yang hasilnya diharapkan mampu
mendorong penanaman modal dalam sektor swasta.
Usaha pembangunan ekonomi
nasional lainnya dijalankan dengan kebijakan nasionalisasi
perusahaan-perusahaan asing. Nasionalisasi ini berupa tindakan pencabutan hak
milik Belanda atau asing yang kemudian diambil alih atau ditetapkan statusnya
sebagai milik pemerintah Republik Indonesia. Pengalihan hak milik modal asing
sudah dilakukan sejak pengakuan kedaulatan pada tahun 1949. Hal ini terkait
dengan hasil KMB yang belum terselesaikan, yaitu kasus Irian Barat yang
janjinya satu tahun setelah berakhirnya KMB akan dibicarakan kembali, namun
tidak dilaksanakan sehingga pemerintah Indonesia pada masa itu mengambil
kebijakan untuk melakukan nasionalisasi perusahaan Belanda.
Sejak tahun 1957 nasionalisasi
yang dilakukan pemerintah terbagi dalam dua tahap; pertama, tahap
pengambilalihan, penyitaan dan penguasaan atau sering disebut “di bawah
pengawasan”. Kedua, pemerintah mulai mengambil kebijakan yang pasti, yakni
perusahaan-perusahaan yang diambil alih itu kemudian dinasionalisasikan. Tahap
ini dimulai pada Desember 1958 dengan dikeluarkannya UU tentang nasionalisasi
perusahaan-perusahaan milik Belanda di Indonesia.
2.
Sistem
Ekonomi Liberal
Sesudah pengakuan kedaulatan,
Pemerintah Indonesia menanggung beban ekonomi dan keuangan yang cukup berat
dampak dari disepakatinya ketentuanketentuan KMB, yaitu meningkatnya nilai
utang Indonesia, baik utang luar negeri maupun utang dalam negeri. Struktur
perekonomian yang diwarisi dari penguasa kolonial masih berat sebelah, nilai
ekspor Indonesia pada saat itu masih sangat tergantung pada beberapa jenis
hasil perkebunan yang nilainya jauh di bawah produksi pada era sebelum Perang
Dunia II.
Permasalahan yang dihadapi
pemerintah Indonesia pada saat itu mencakup permasalahan jangka pendek dan
permasalahan jangka panjang. Permasalahan jangka pendek yang dihadapi
pemerintah Indonesia saat itu adalah tingginya jumlah mata uang yang beredar
dan meningkatnya biaya hidup. Permasalahan jangka panjang yang dihadapi
pemerintah adalah pertambahan jumlah penduduk dengan tingkat hidup yang rendah.
Beban berat ini merupakan konsekuensi dari pengakuan kedaulatan. Pada era ini,
Pemerintah mengalami defisit sebesar Rp 5,1 miliar. Defisit ini sebagian besar
berhasil dikurangi dengan pinjaman pemerintah dan kebijakan ekspor impor
barang, terutama ketika pecah perang Korea.
Namun sejak tahun 1951,
penerimaan pemerintah mulai berkurang disebabkan menurunnya volume perdagangan
internasional. Indonesia sebagai negara yang berkembang tidak memiliki
komoditas ekspor lain kecuali dari hasil perkebunan. Kondisi ini membawa dampak
perkembangan perekonomian Indonesia yang tidak mengarah pada stabilitas
ekonomi, bahkan yang terjadi adalah sebaliknya. Di sisi lain pengeluaran
pemerintah semakin meningkat akibat tidak stabilnya situasi politik sehingga
angka defisit semakin meningkat. Disamping itu, pemerintah belum berhasil
meningkatkan produksi dengan memanfaatkan sumber-sumber yang masih ada untuk meningkatkan
pendapatan nasional. Kelemahan pemerintah lainnya adalah politik keuangannya
tidak dirancang oleh pemerintah Indonesia sendiri, namun dirancang oleh
pemeritah Belanda. Hal ini terjadi akibat dari politik kolonial Belanda yang
tidak mewariskan ahli-ahli yang cukup sehingga usaha mengubah sistem ekonomi
dari ekonomi kolonial ke ekonomi nasional tidak mampu menghasilkan perubahan
yang drastis.
Kebijakan yang ditempuh
pemerintah untuk menanggulangi permasalahan tersebut diantaranya adalah
melaksanakan industrialisasi, yang dikenal dengan Rencana Soemitro. Sasaran
yang ditekankan dari program ini adalah pembangunan industri dasar, seperti
pendirian pabrik-pabrik semen, pemintalan, karung dan percetakan. Kebijakan ini
diikuti dengan peningkatan produksi, pangan, perbaikan sarana dan prasarana,
dan penanaman modal asing.
Pada masa pemerintahan Kabinet
Burhanuddin Harahap, Indonesia mengirim delegasi ke Belanda dengan misi
merundingkan masalah Finansial Ekonomi (Finek). Perundingan ini dilakukan pada
tangal 7 Januari 1956. Rancangan persetujuan Finek yang diajukan Indonesia
terhadap pemerintah Belanda adalah sebagai berikut:
1.
Pembatalan
Persetujuan Finek hasil KMB
2.
Hubungan
Finek Indonesia-Belanda didasarkan atas hubungan bilateral
3.
Hubungan
finek didasarkan atas undang-undang Nasional, tidak boleh diikat oleh
perjanjian lain.
Namun usul
Indonesia ini tidak diterima oleh Pemerintah Belanda, sehingga pemerintah
Indonesia secara sepihak melaksanakan rancangan fineknya dengan membubarkan Uni
Indonesia-Belanda pada tanggal 13 Febuari 1956 dengan tujuan melepaskan diri
dari ikatan ekonomi dengan Belanda.
Upaya yang
dilakukan lainnya adalah upaya pembentukan Biro Perancang Negara pada masa
Kabinet Ali II dengan tugas merancang pembangunan jangka panjang. Biro ini
dipimpin oleh Ir. Djuanda yang kemudian diangkat menjadi Menteri Perancang
Nasional. Biro ini kemudian merancang Rencana Program Pembanguan Lima Tahun
(RPLT) yang rancangannya kemudian disetujui oleh Parlemen. Namun karena
berbagai faktor, baik faktor eksternal maupun internal, RPLT sangat berat untuk
dijalankan. Perekonomian Indonesia semakin terpuruk ketika ketegangan politik
yang timbul tidak dapat diselesaikan dengan diplomasi, akhirnya memunculkan
pemberontakan yang dalam penumpasannya memerlukan biaya yang cukup tinggi.
Kondisi ini mendorong meningkatnya prosentasi defisit anggaran pemerintah, dari
angka 20% di tahun 1950 dan 100% di tahun 1960.
MASA ORDE BARU
Lahirnya pemeritahan Orde Baru tidak
bisa dilepaskan dari kondisi sosial politik di masa itu. Pasca penumpasan G 30
S PKI, pemerintah ternyata belum sepenuhnya berhasil melakukan penyelesaian
politik terhadap peristiwa tersebut. Kondisi ini membuat situasi politik tidak
stabil. Kepercayaan masyarakat terhadap Presiden Soekarno semakin menurun.
Tanggal 25 Oktober 1965 para mahasiswa di Jakarta membentuk organisasi federasi
yang dinamakan KAMI dengan anggota antara lain terdiri dari HMI, PMKRI, PMII,
dan GMNI. Pimpinan KAMI berbentuk Presidium dengan ketua umum Zamroni (PMII).
Pemuda dan mahasiswa memiliki peran penting dalam transisi pemerintahan yang
terjadi pada masa ini. Tokoh-tokoh seperti Abdul Ghafur, Cosmas Batubara,
Subhan ZE, Hari Tjan Silalahi dan Sulastomo menjadi penggerak aksi-aksi yang menuntut
Soekarno agar segera menyelesaikan kemelut politik yang terjadi.
1. Aksi-Aksi
Tritura
Naiknya Letnan
Jenderal Soeharto ke kursi kepresidenan tidak dapat dilepaskan dari peristiwa
Gerakan 30 September 1965 atau G 30 S PKI. Ini merupakan peristiwa yang menjadi
titik awal berakhirnya kekuasaan Presiden Soekarno dan hilangnya kekuatan
politik PKI dari percaturan politik Indonesia.
Peristiwa
tersebut telah menimbulkan kemarahan rakyat. Keadaan politik dan
keamanan negara menjadi kacau,
keadaan perekonomian makin memburuk dimana inflasi mencapai 600% sedangkan
upaya pemerintah melakukan devaluasi rupiah dan kenaikan menyebabkan timbulnya
keresahan masyarakat.
Memahami Teks RESIMEN
CAKRABIRAWA Resimen Cakrabirawa merupakan kesatuan pasukan gabungan dari TNI Angkatan
Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara dan Kepolisian yang bertugas khusus
menjaga keamanan Presiden RI pada zaman pemerintahan Soekarno. Sayangnya,
sebagian anggota resimen ini kemudian berhasil dipengaruhi PKI dan ikut terlibat
dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965. Diantara mereka yang terlibat, adalah
Letkol Untung Syamsuri, salah seorang komandan Cakrabirawa yang justru menjadi
pemimpin G30S/PKI saat melakukan penculikan terhadap para perwira tinggi AD
pada dini hari tanggal 1 Oktober 1965. Pada zaman pemerintahan Soeharto,
resimen ini dibubarkan. Untuk mengawal Presiden, dibentuk kemudian kesatuan
baru Paspampres (Pasukan Pengaman Presiden)
Aksi-aksi
tuntutan penyelesaian yang seadil-adilnya terhadap pelaku G30 S PKI semakin
meningkat. Gerakan tersebut dipelopori oleh kesatuan aksi pemuda-pemuda,
mahasiswa dan pelajar (KAPPI, KAMI, KAPI), kemudian muncul pula KABI (buruh),
KASI (sarjana), KAWI (wanita), KAGI (guru) dan lain-lain. Kesatuan-kesatuan
aksi tersebut dengan gigih menuntut penyelesaian politis yang terlibat
G-30S/PKI, dan kemudian pada tanggal 26 Oktober 1965 membulatkan barisan mereka
dalam satu front, yaitu Front Pancasila.
Setelah lahir
barisan Front Pancasila, gelombang demonstrasi yang menuntut pembubaran PKI
makin bertambah meluas. Situasi yang menjurus ke arah konflik politik makin
bertambah panas oleh keadaan ekonomi yang semakin memburuk. Perasaan tidak puas
terhadap keadaan saat itu mendorong para pemuda dan mahasiswa mencetuskan Tri
Tuntunan Hati Nurani Rakyat yang lebih dikenal dengan sebutan Tritura (Tri
Tuntutan Rakyat).Pada 12 Januari 1966 dipelopori oleh KAMI dan KAPPI,
kesatuan-kesatuan aksi yang tergabung dalam Front Pancasila mendatangi DPR-GR
mengajukan tiga buah tuntutan yaitu: (1) Pembubaran PKI, (2) Pembersihan
kabinet dari unsur-unsur G30S PKI, dan (3) Penurunan harga/perbaikan ekonomi.
Tuntutan rakyat
banyak agar Presiden Soekarno membubarkan PKI ternyata tidak dipenuhi Presiden.
Untuk menenangkan rakyat Presiden Soekarno mengadakan perubahan Kabinet Dwikora
menjadi Kabinet 100 Menteri, yang ternyata belum juga memuaskan hati rakyat
karena di dalamnya masih bercokol tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa
G30S PKI.
Pada saat
pelantikan Kabinet 100 Menteri pada tgl 24 Pebruari 1966, para mahasiswa,
pelajar dan pemuda memenuhi jalan-jalan menuju Istana Merdeka.
Aksi itu
dihadang oleh pasukan Cakrabirawa sehingga menyebabkan bentrok antara pasukan
Cakrabirawa dengan para demonstran yang menyebabkan gugurnya mahasiswa
Universitas Indonesia bernama Arief Rachman Hakim. Sebagai akibat dari aksi itu
keesokan harinya yaitu pada tanggal 25 Februari 1966 berdasarkan keputusan
Panglima Komando Ganyang Malaysia (Kogam) yaitu Presiden Soekarno sendiri, KAMI
dibubarkan.
Insiden
berdarah yang terjadi ternyata menyebabkan makin parahnya krisis kepemimpinan
nasional. Keputusan membubarkan KAMI dibalas oleh mahasiswa Bandung dengan
mengeluarkan “Ikrar Keadilan dan Kebenaran” yang memprotes pembubaran KAMI dan
mengajak rakyat untuk meneruskan perjuangan. Perjuangan KAMI kemudian
dilanjutkan dengan munculnya masa Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI),
krisis nasional makin tidak terkendalikan. Dalam pada itu mahasiswa membentuk
Resimen Arief Rachman Hakim. Melanjutkan aksi KAMI.
Protes terhadap
pembubaran KAMI juga dilakukan oleh Front Pancasila, dan meminta kepada
pemerintah agar meninjau kembali pembubaran KAMI. Dalam suasana yang demikian,
pada 8 Maret 1966 para pelajar dan mahasiswa yang melakukan demonstrasi
menyerbu dan mengobrak–abrik gedung Departemen Luar Negeri, selain itu mereka
juga membakar kantor berita Republik Rakyat Cina (RRC), Hsin Hua. Aksi para
demonstran tersebut menimbulkan kemarahan Presiden Soekarno. Pada hari itu juga
Presiden mengeluarkan perintah harian supaya agar seluruh komponen bangsa
waspada terhadap usaha-usaha “membelokkan jalannya revolusi kita ke kanan”, dan
supaya siap sedia untuk menghancurkan setiap usaha yang langsung maupun tidak
langsung bertujuan merongrong kepemimpinan, kewibawaan, atau kebijakan
Presiden, serta memperhebat “pengganyangan terhadap Nekolim serta proyek
“British Malaysia”
2. Surat
Perintah Sebelas Maret
Untuk mengatasi
krisis politik yang memuncak, pada tanggal 11 Maret 1966 Soekarno mengadakan
sidang kabinet. Sidang ini ternyata diboikot oleh para demonstran yang tetap
menuntut Presiden Soekarno agar membubarkan PKI, dengan melakukan pengempesan
ban-ban mobil pada jalan-jalan yang menuju ke Istana.
Belum lama
Presiden berpidato dalam sidang, ia diberitahu oleh Brigjen Sabur, Komandan
Cakrabirawa bahwa di luar istana terdapat pasukan tanpa tanda pengenal dengan
seragamnya. Meskipun ada jaminan dari Pangdam V/Jaya Amir Machmud, yang hadir
waktu itu, bahwa keadaan tetap aman, Presiden Soekarno tetap merasa khawatir
dan segera meninggalkan sidang. Tindakan itu diikuti oleh Waperdam I
Dr.Subandrio dan Waperdam III Dr.Chaerul Saleh yang bersama-sama dengan
Presiden segera menuju Bogor dengan helikopter. Sidang kemudian ditutup oleh
Waperdam II Dr.J. Leimena, yang kemudian menyusul ke Bogor dengan mobil.
Sementara itu,
tiga orang perwira tinggi TNI-AD, yaitu Mayjen Basuki Rahmat, Brigjen M Jusuf,
dan Brigjen Amir Machmud, yang juga mengikuti sidang paripurna kabinet, sepakat
untuk menyusul Presiden Soekarno ke Bogor. Sebelum berangkat, ketiga perwira
tinggi itu minta ijin kepada atasannya yakni Menteri/Panglima Angkatan Darat
Jenderal Soeharto yang juga merangkap selaku panglima Kopkamtib. Pada waktu itu
Jenderal Soeharto sedang sakit, dan diharuskan beristirahat di rumah. Niat
ketiga perwira itu disetujuinya. Mayjen Basuki Rachmat menanyakan apakah ada
pesan khusus dari Jenderal Soeharto untuk Presiden Soekarno, Letjen Soeharto
menjawab: “sampaikan saja bahwa saya tetap pada kesanggupan saya. Beliau akan
mengerti”
Latar belakang
dari ucapan itu ialah bahwa sejak pertemuan mereka di Bogor pada tanggal 2
Oktober 1965 setelah meletusnya pemberontakan G-30-S/PKI. Antara Presiden
Soekarno dengan Letjen Soeharto terjadi perbedaan pendapat mengenai kunci bagi
usaha meredakan pergolakan politik saat itu. Menurut Letjen Soeharto,
pergolakan rakyat tidak akan reda sebelum rasa keadilan rakyat dipenuhi dan
rasa ketakutan rakyat dihilangkan dengan jalan membubarkan PKI yang telah
melakukan pemberontakan. Sebaliknya Presiden Soekarno menyatakan bahwa ia tidak
mungkin membubarkan PKI karena hal itu bertentangan dengan doktrin Nasakom yang
telah dicanangkan ke seluruh dunia. Dalam pertemuan-pertemuan selanjutnya
perbedaan paham itu tetap muncul. Pada suatu ketika Soeharto menyediakan diri
untuk membubarkan PKI asal mendapat kebebasan bertindak dari Presiden. Pesan Soeharto
yang disampaikan kepada ketiga orang perwira tinggi yang akan berangkat ke
Bogor mengacu kepada kesanggupan tersebut.
Di Istana Bogor
ketiga perwira tinggi mengadakan pembicaraan dengan Presiden yang didampingi
oleh Dr. Subandrio, Dr. J Leimena dan Dr. Chaerul Saleh. Sesuai dengan
kesimpulan pembicaraan, ketiga perwira tinggi tersebut bersama dengan komandan
Resimen Cakrabirawa, Brigjen Sabur, kemudian diperintahkan membuat konsep surat
perintah kepada Letjen Soeharto untuk memulihkan keadaan dan kewibawaan
pemerintah. Setelah dibahas bersama, akhirnya Presiden Soekarno menandatangani
surat perintah yang kemudian terkenal dengan nama Surat Perintah 11 Maret, atau
SP 11 Maret, atau Supersemar.
Supersemar
berisi pemberian mandat kepada Letjen. Soeharto selaku Panglima Angkatan Darat
dan Pangkopkamtib untuk memulihkan keadaan dan kewibawaan pemerintah. Dalam
menjalankan tugas, penerima mandat diharuskan melaporkan segala sesuatu kepada
presiden. Mandat itu kemudian dikenal sebagai Surat Perintah 11 Maret
(Supersemar). Keluarnya Supersemar dianggap sebagai tonggak lahirnya Orde Baru.
Tindakan
pertama yang dilakukan oleh Soeharto keesokan harinya setelah menerima Surat
Perintah tersebut adalah membubarkan dan melarang PKI beserta organisasi
massanya yang bernaung dan berlindung ataupun seasas dengannya di seluruh
Indonesia, terhitung sejak tanggal 12 Maret 1966. Pembubaran itu mendapat
dukungan dari rakyat, karena dengan demikian salah satu diantara Tritura telah
dilaksanan.
Selain itu
Letjen. Soeharto juga menyerukan kepada pelajar dan mahasiswa untuk kembali ke
sekolah. Tindakan berikutnya berdasarkan Supersemar adalah dikeluarkannya
Keputusan Presiden No. 5 tanggal 18 Maret 1966 tentang penahanan 15 orang
menteri yang diduga terkait dengan pemberontakan G-30-S PKI ataupun dianggap
memperlihatkan iktikad tidak baik dalam penyelesaian masalah itu.
Demi lancarnya
tugas pemerintah, Letjen. Soeharto mengangkat lima orang menteri koordinator ad
interim yang menjadi Presidium Kabinet. Kelima orang tersebut ialah Sultan Hamengkubuwono
IX, Adam Malik. Dr Roeslan Abdulgani, Dr. K.H. Idham Chalid dan Dr. J. Leimena.
Ada beberapa
faktor yang melatar belakangi lahirnya Supersemar, diantaranya:
1. Situasi
negara secara umum dalam keadaan kacau dan genting
2. Untuk
mengatasi situasi yang tak menentu akibat pemberontakan G 30 S/PKI
3.
Menyelamatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia
4. Untuk
memulihkan keadaan dan wibawa pemerintah.
3. Dualisme
Kepemimpinan Nasional
Memasuki tahun
1966 terlihat gejala krisis kepemimpinan nasional yang mengarah pada dualisme
kepemimpinan. Disatu pihak Presiden Soekarno masih menjabat presiden, namun
pamornya telah kian merosot. Soekarno dianggap tidak aspiratif terhadap
tuntutan masyarakat yang mendesak agar PKI dibubarkan. Hal ini ditambah lagi
dengan ditolaknya pidato pertanggungjawabannya hingga dua kali oleh MPRS.
Sementara itu Soeharto setelah mendapat Surat Perintah Sebelas Maret dari
Presiden Soekarno dan sehari sesudahnya membubarkan PKI, namanya semakin
populer. Dalam pemerintahan yang masih dipimpin oleh Soekarno, Soeharto sebagai
pengemban Supersemar, diberi mandat oleh MPRS untuk membentuk kabinet, yang
diberi nama Kabinet Ampera.
Meskipun
Soekarno masih memimpin sebagai pemimpin kabinet, tetapi pelaksanaan pimpinan dan
tugas harian dipegang oleh Soeharto. Kondisi seperti ini berakibat pada
munculnya “dualisme kepemimpinan nasional”, yaitu Soekarno sebagai pimpinan
pemerintahan sedangkan Soeharto sebagai pelaksana pemerintahan. Presiden
Soekarno sudah tidak banyak melakukan tindakan-tindakan pemerintahan, sedangkan
sebaliknya Letjen. Soeharto banyak menjalankan tugas-tugas harian pemerintahan.
Adanya “Dualisme kepemimpinan nasional” ini akhirnya menimbulkan pertentangan
politik dalam masyarakat, yaitu mengarah pada munculnya pendukung Soekarno dan pendukung
Soeharto. Hal ini jelas membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa.
Dalam Sidang
MPRS yang digelar sejak akhir bulan Juni sampai awal Juli 1966 memutuskan
menjadikan Supersemar sebagai Ketetapan (Tap) MPRS. Dengan dijadikannya
Supersemar sebagai Tap MPRS secara hukum Supersemar tidak lagi bisa dicabut
sewaktu-waktu oleh Presiden Soekarno. Bahkan sebaliknya secara hukum Soeharto
mempunyai kedudukan yang sama dengan Soekarno, yaitu Mandataris MPRS.
Dalam Sidang
MPRS itu juga, majelis mulai membatasi hak prerogatif Soekarno selaku Presiden.
Secara eksplisit dinyatakan bahwa gelar “Pemimpin Besar Revolusi” tidak lagi
mengandung kekuatan hukum. Presiden sendiri masih diizinkan untuk membacakan
pidato pertanggungjawabannya yang diberi judul “Nawaksara”.
Pada tanggal 22
Juni 1966, presiden Soekarno menyampaikan pidato “Nawaksara” dalam persidangan
MPRS. “Nawa” berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti sembilan, dan “Aksara”
berarti huruf atau istilah. Pidato itu memang berisi sembilan pokok persoalan
yang dianggap penting oleh presiden Soekarno selaku mandataris MPR. Isi pidato
tersebut hanya sedikit menyinggung sebab-sebab meletusnya peristiwa berdarah
yang terjadi pada tanggal 30 September 1965. Pengabaian peristiwa yang mengakibatkan
gugurnya sejumlah jenderal angkatan darat itu tidak memuaskan anggota MPRS.
Melalui Keputusan Nomor 5/MPRS/1966, MPRS memutuskan untuk minta kepada
presiden agar melengkapi laporan pertanggung jawabannya, khususnya mengenai
sebab-sebab terjadinya peristiwa Gerakan 30 September beserta epilognya dan
masalah kemunduran ekonomi serta akhlak.
Pada tanggal 10
Januari 1967 Presiden menyampaikan surat kepada pimpinan MPRS yang berisi
Pelengkap Nawaksara. Dalam Pelnawaksara itu presiden mengemukakan bahwa
mandataris MPRS hanya mempertanggungjawabkan pelaksanaan Garis-garis Besar
Haluan Negara dan bukan hal-hal yang lain. Nawaksara baginya hanya sebagai progress
report yang ia sampaikan secara sukarela. Ia juga menolak untuk seorang
diri mempertanggungjawabkan terjadinya peristiwa Gerakan 30 September,
kemerosotan ekonomi, dan akhlak.
Sementara itu,
sebuah kabinet baru telah terbentuk dan diberi nama Kabinet Ampera (Amanat
Penderitaan Rakyat). Kabinet tersebut diresmikan pada 28 Juli 1966. Kabinet ini
mempunyai tugas pokok untuk menciptakan stabilitas politik dan ekonomi. Program
kabinet tersebut antara lain adalah memperbaiki kehidupan rakyat, terutama di
bidang sandang dan pangan, dan melaksanakan pemilihan umum sesuai dengan
Ketetapan MPR RI No. XI/MPRS/1966. Sesuai dengan UUD 1945, Presiden Soekarno
adalah pemimpin Kabinet. Akan tetapi pelaksanaan pimpinan pemerintahan dan
tugas harian dilakukan oleh Presidium Kabinet yang diketuai oleh Letnan
Jenderal Soeharto.
Sehubungan
dengan permasalahan yang ditimbulkan oleh “Pelengkap Nawaksara” dan bertambah
gawatnya keadaan politik pada 9 Februari 1967 DPRGR mengajukan resolusi dan
memorandum kepada MPRS agar mengadakan Sidang Istimewa. Sementara itu
usaha-usaha untuk menenangkan keadaan berjalan terus. Untuk itu pimpinan ABRI
mengadakan pendekatan pribadi kepada Presiden Soekarno agar ia menyerahkan
kekuasaan kepada pengemban ketetapan MPRS RI No. IX/MPRS/1966, yaitu Jenderal
Soeharto sebelum Sidang Umum MPRS. Hal ini untuk mencegah perpecahan di kalangan
rakyat dan untuk menyelamatkan lembaga kepresidenan dan pribadi Presiden
Soekarno.
Salah seorang
sahabat Soekarno, Mr. Hardi, menemui Presiden Soekarno dan memohon agar
Presiden Soekarno membuka prakarsa untuk mengakhiri dualisme kepemimpinan negara,
karena dualisme kepemimpinan inilah yang menjadi sumber konflik politik yang
tidak kunjung berhenti. Mr. Hardi menyarankan agar Soekarno sebagai mandataris
MPRS, menyatakan non aktif di depan sidang Badan Pekerja MPRS dan menyetujui
pembubaran PKI. Presiden Soekarno menyetujui saran Mr. Hardi. Untuk itu
disusunlah “Surat Penugasan mengenai Pimpinan Pemerintahan Sehari-hari kepada
Pemegang Surat Perintah 11 Maret 1966.
Kemudian,
Presiden menulis nota pribadi kepada Jenderal Soeharto. Pada 7 Februari 1967,
Mr. Hardi menemui Jenderal Soeharto dan menyerahkan konsep tersebut. Pada 8
Februari 1967, Soeharto membahas surat Presiden bersama keempat Panglima
Angkatan. Para panglima berkesimpulan bahwa draft surat tersebut tidak dapat
diterima karena bentuk surat penugasan tersebut tidak membantu menyelesaikan
situasi konflik. Kesimpulan itu disampaikan Soeharto kepada presiden Soekarno
pada 10 februari 1967. Presidenmenanyakan kemungkinan mana yang terbaik.
Soeharto mengajukan draft berisi pernyataan bahwa Presiden berhalangan, atau
menyerahkan kekuasaan kepada Pengemban Surat Perintah 11 Maret 1966. Pada
awalnya Presiden Soekarno tidak berkenan dengan usulan draft tersebut, namun
kemudian sikap Presiden Soekarno melunak, ia memerintahkan agar Soeharto
beserta Panglima Angkatan berkumpul di Bogor pada hari Minggu tanggal 19
Februari 1967, Presiden menyetujui draft yang dibuat, dan pada tanggal 20
Februari draft surat itu telah ditandatangani oleh Presiden. Ia meminta agar
diumumkan pada hari Rabu tanggal 22 Februari 1967. Tepat pada pukul 19.30,
Presiden Soekarno membacakan pengumuman resmi pengunduran dirinya.
Pada tanggal 12
Maret 1967 Jenderal Soeharto dilantik menjadi pejabat Presiden Republik
Indonesia oleh Ketua MPRS Jenderal Abdul Haris Nasution. Setelah setahun
menjadi pejabat presiden, Soeharto dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia
pada tanggal 27 Maret 1968 dalam Sidang Umum V MPRS. Melalui Tap No.
XLIV/MPRS/1968, Jenderal Soeharto dikukuhkan sebagai Presiden Republik
Indonesia hingga terpilih presiden oleh MPR hasil pemilu. Pengukuhan tersebut
menandai berakhirnya dualisme kepemimpinan nasional dan dimulainya pemerintahan
Orde Baru.
B.
Stabilisasi Politik
dan Rehabilitasi Ekonomi
Terbentuknya
pemerintahan Orde Baru yang diawali dengan keputusan Sidang Istimewa MPRS
tanggal 12 Maret 1967 yang menetapkan Jenderal Soeharto sebagai pejabat
presiden. Kedudukannya itu semakin kuat setelah pada 27 Maret 1968, MPRS
mengukuhkannya sebagai presiden penuh. Pengukuhan tersebut dapat dijadikan
indikator dimulainya kekuasaan Orde Baru.
Setelah
memperoleh kekuasaan sepenuhnya, pemerintah Orde Baru mulai menjalankan
kebijakan-kebijakan politik dan Ekonomi yang telah ditetapkan oleh Sidang MPRS
tahun-tahun sebelumnya, seperti Stabilitas Politik Keamanan (Tap MPRS No.IX/1966),
Stabilitas ekonomi (Tap MPRS No.XXIII/19 66), dan Pemilihan Umum (Tap MPRS
No.XI/1966)
Pemerintahan
Orde Baru memandang bahwa selama Orde Lama telah terjadi penyimpangan terhadap
pelaksanaan UUD 1945 dan Pancasila. Diantara penyimpangan tersebut adalah
pelaksanaan Demokrasi Terpimpin dan pelaksanaan politik luar negeri yang
cenderung memihak blok komunis (Blok Timur). Sesuai dengan ketentuan yang telah
digariskan oleh MPRS, maka pemerintahan Orde Baru segera berupaya menjalankan
UUD 1945 dan Pancasila secara konsekuen dengan melakukan rehabilitasi dan
stabilisasi politik dan keamanan (polkam). Tujuan dari rehabilitasi dan
stabilisasi tersebut adalah agar dilakukan pembangunan ekonomi bagi
kesejahteraan rakyat Indonesia.
Dalam
melaksanakan rehabilitasi dan stabilisasi polkam, pemerintah Orde Baru di bawah
pimpinan Soeharto menggunakan suatu pendekatan yang dikenal sebagai pendekatan
keamanan (security approach), termasuk di dalamnya de-Soekarnoisasi dan
depolitisasi kekuatan-kekuatan organisasi sosial politik (orsospol) yang
dinilai akan merongrong kewibawaan pemerintah. Seiring dengan itu, dibentuk
lembaga-lembaga stabilisasi seperti; Kopkamtib (pada 1 November 1965), Dewan
Stabilisasi Ekonomi Nasional (11 Agustus 1966), dan Dewan Pertahanan Keamanan
Nasional (1 Agustus 1970).
Mengenai
kebijakan politik luar negeri yang dipandang menyimpang, pemerintah Orde Baru
berupaya mengembalikan Indonesia dari politik Nefos-Oldefos dan “Poros Jakarta
-Pnom Penh - Hanoi-Peking - Pyongyang” ke politik luar negeri Indonesia yang
bebas dan aktif. Tujuan dari politik luar negeri pun diarahkan untuk dapat
dilakukannya pembangunan kesejahteraan rakyat. Hal itu tampak dari pernyataan
Jenderal Soeharto sebagai pemegang mandat Supersemar tanggal 4 April 1966,
beliau menyatakan bahwa Indonesia akan menjalankan politik luar negeri yang
bebas aktif, yang mengabdi kepada kepentingan bangsa dan ditujukan untuk
mencapai kesejahteraan rakyat. Dalam upaya mencapai tujuan tersebut, maka
politik luar negeri Indonesia akan ditujukan pada perluasan kerjasama ekonomi
dan keuangan antara Indonesia dengan dunia luar, baik Timur maupun Barat,
selama kerjasama itu menguntungkan bagi kepentingan Indonesia.
Sebagai wujud
nyata dari niat itu, Indonesia memulihkan kembali hubungan baik dengan Malaysia
termasuk Singapura yang sempat terganggu akibat kebijakan konfrontasi Indonesia
1963-1966. Di samping itu, sejak 28 September 1966, Indonesia kembali aktif di
forum Perserikatan Bangsa bangsa (PBB). Pada era Orde Lama, Indonesia pada 1
Januari 1965, keluar dari lembaga tersebut. Langkah berikutnya, Indonesia
bersama Malaysia, Singapura, Thailand dan Filipina membentuk organisasi
kerjasama regional ASEAN (Association of South East Asian Nation) di
Bangkok 8 Agustus 1967. Tujuan pembentukan ASEAN ini adalah untuk meningkatkan
kerjasama regional khususnya di bidang ekonomi dan budaya.
1.
Stabilisasi
Politik dan Keamanan sebagai Dasar Pembangunan
Orde Baru
mencanangkan berbagai konsep dan aktivitas pembangunan nasional yang
berorientasi pada kesejahteraan masyarakat. Langkah pertama melaksanakan
pembangunan nasional tersebut adalah dengan membentuk Kabinet Pembangunan I
pada 6 Juni 1968. Program Kabinet Pembangunan I dikenal dengan sebutan
Pancakrida Kabinet Pembangunan, yang berisi:
Ø Menciptakan
stabilitas politik dan ekonomi sebagai syarat mutlak berhasilnya pelaksanakan
Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) dan Pemilihan Umum (Pemilu);
Ø Menyusun
dan merencanakan Repelita;
Ø Melaksanakan
Pemilu selambat-lambatnya pada Juli 1971;
Ø Mengembalikan
ketertiban dan keamanan masyarakat dengan mengikis habis sisa-sisa G 30/S/PKI
dan setiap bentuk rongrongan penyelewengan, serta pengkhianatan terhadap
Pancasila dan UUD 1945;
Ø Melanjutkan
penyempurnaan dan pembersihan secara menyeluruh aparatur negara baik di pusat maupun
di daerah dari unsur-unsur komunisme.
Dalam rangka
menciptakan kondisi politik yang stabil dan kondusif bagi terlaksananya amanah
rakyat melalui TAP MPRS No.IX/MPRS/1966, yaitu melaksanakan pemilihan umum
(pemilu), pemerintah Orde Baru melakukan ‘pelemahan’ atau mengeliminasi
kekuatan-kekuatan yang secara historis dinilai berpotensi mengganggu stabilitas
dan merongrong kewibawaan pemerintah. Pelemahan itu dilakukan antara lain
terhadap pendukung Soekarno, kelompok Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan
kelompok Islam Fundamentalis (yang sering disebut kaum ekstrimis kanan). Selain
itu, pemerintahan Soeharto juga menciptakan kekuatan politik sipil baru yang
dalam pandangannya lebih mudah dikendalikan. Organisasi itu adalah Sekretariat
Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) yang kemudian lebih dikenal dengan nama
Golkar.
Berdasarkan Tap
MPRS No IX/MPRS/1966, pemerintah diharapkan segera melakukan pemilu pada tahun
1968. Namun karena berbagai pertimbangan politik dan keamanan, pemilu baru
dapat diselenggarakan pada 1971. Lembaga Pemilu sebagai pelaksana pemilu
dibentuk dan ditempatkan di bawah koordinasi Departemen Dalam Negeri, sedangkan
peserta pemilu ditetapkan melalui Keputusan Presiden No.23 tanggal 23 Mei 1970.
Berdasarkan surat keputusan itu, jumlah partai politik (parpol) yang diijinkan
ikut serta dalam pemilu adalah 9 parpol, yaitu: NU, Parmusi, PSII, Perti
(Persatuan Tarbiyah Islamiyah), Partai Kristen Indonesia, Partai Khatolik,
Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), dan Ikatan Pendukung Kemerdekaan
Indonesia (IPKI) ditambah dengan Golkar. Adapun perolehan suara hasil pemilu
1971 adalah sebagai berikut: Golkar(236 kursi, 62,82%), NU (58 kursi,18,68%), Parmusi
(24 kursi (5,56%), PNI (20 kursi,6,93%), PSII (10 kursi,2,39%), dan Parkindo
(10 kursi, 2,39%). (Anhar Gonggong ed, 2005: 150)
Pada akhir
tahun 1971, pemerintah Orde Baru melemparkan gagasan penyederhanaan partai
politik dengan alasan–alasan tertentu, seperti kasus pada masa “demokrasi
parlementer”. Pada masa itu, banyaknya partai dianggap tidak memudahkan
pembangunan, justru sebaliknya menambah permasalahan. Penyebabnya bukan saja
karena persaingan antarparpol, melainkan juga persaingan di dalam tubuh parpol
antara para pemimpinnya tidak jarang memicu timbulnya krisis, bahkan perpecahan
yang dinilai bisa mengganggu stabilitas polkam. Atas dasar itu, pemerintah
berpendapat perlu adanya penyederhanaan partai sebagai bagian dari pelaksanaan
demokrasi Pancasila. Pada awalnya banyak parpol yang menolak gagasan itu, yang sedikit
banyak dinilai telah menutup aspirasi kebebasan berkumpul dan berserikat yang
dijamin oleh UUD 1945. Namun adanya tekanan pemerintah menyebabkan mereka tidak
mempunyai pilihan lain.
Realisasi
penyederhanaan partai tersebut dilaksanakan melalui Sidang Umum MPR tahun 1973.
Sembilan partai yang ada berfusi ke dalam dua partai baru, yaitu Partai
Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Empat Partai
Islam, yaitu Nahdatul Ulama/NU, Parmusi, Partai Sarekat Islam Indonesia/PSII,
dan Perti bergabung dalam PPP. Sementara itu lima partai non Islam, yaitu PNI,
Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Khatolik, Partai Murba, dan IPKI
bergabung dalam PDI. Selain kedua kelompok tersebut ada pula kelompok Golkar
yang semula bernama Sekber Golkar. Pengelompokkan tersebut secara formal
berlaku pula di lingkungan DPR dan MPR. (Gonggong dan Asy’arie, ed, 2005).
Di samping
melakukan penyederhanaan partai, pemerintah menetapkan pula konsep “massa
mengambang”. Partai-partai dilarang mempunyai cabang atau ranting di tingkat
kecamatan sampai pedesaan. Sementara itu jalur parpol ke tubuh birokrasi juga
terpotong dengan adanya ketentuan agar pegawai negeri sipil menyalurkan
suaranya ke Golkar (monoloyalitas).
Pemerintahan
Orde Baru berhasil melaksanakan pemilihan umum sebanyak enam kali yang
diselenggarakan setiap lima tahun sekali, yaitu: tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992,
dan 1997. Pemilu 1971 diikuti oleh 58.558.776 pemilih untuk memilih 460 orang
anggota DPR dimana 360 orang anggota dipilih dan 100 orang diangkat.
Semua pemilu
yang dilakukan pada masa Orde Baru dimenangkan oleh Golkar. Hal itu disebabkan
oleh pengerahan kekuatan-kekuatan penyokong Orde Baru untuk mendukung Golkar.
Kekuatan-kekuatan penyokong Golkar adalah aparat pemerintah (pegawai negeri
sipil) dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).
Melalui
kekuatan-kekuatan tersebut, pemerintah mengarahkan masyarakat untuk memilih
Golkar. Meskipun anggota ABRI tidak terlibat dalam Golkar secara langsung, para
anggota keluarga dan pensiunan ABRI (Purnawirawan) banyak terlibat dan
memberikan dukungan penuh kepada Golkar. Semua pegawai negeri sipil diwajibkan
menjadi anggota Golkar. Dengan dukungan pegawai negeri sipil dan ABRI, Golkar
dengan leluasa menjangkau masyarakat luas di berbagai tempat dan tingkatan.
Dari tingkatan masyarakat atas sampai bawah. Dari kota sampai pelosok desa.
Penyelenggaraan
pemilu selama Orde Baru menimbulkan kesan bahwa demokrasi di Indonesia sudah
tercipta dengan baik. Apalagi pemilu-pemilu tersebut berlangsung dengan slogan
“Luber” (Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia). Suara-suara ketidakpuasan dari
masyarakat terhadap demokrasi dikesampingkan.
Ketidakpuasan
yang ada di masyarakat misalnya mengenai dibatasinya jumlah partai-partai
politik dan pengerahan pegawai negeri sipil dan ABRI, serta anggota keluarga mereka
untuk mendukung Golkar.
Selain
melakukan depolitisasi terhadap orsospol (pelarangan kegiatan partai politik)
di tingkat kecamatan dan desa (dimana partai-partai politik dilarang mempunyai
cabang atau ranting di tingkat pedesaan, depolitisasi juga diberlakukan di
dunia pendidikan, terutama setelah terjadinya peristiwa malapetaka lima belas
Januari (Malari) tahun 1974.
Peristiwa 15
Januari 1974 Menjelang kedatangan PM Jepang Kakuei Tanaka, pada 15 Januari 1974
di Jakarta terjadi demonstrasi besar-besaran mahasiswa yang disusul dengan aksi
anarki. Proyek Senen, gedung Toyota Astra, sejumlah toko milik pedagang Cina di
Jalan Hayam Wuruk, Gajah Mada, Glodok dan Cempaka Putih, terbakar habis karena
aksi tersebut. Geger Jakarta ini mengejutkan jajaran aparat keamanan dan
pemerintah, karena itu diberi julukan Malapetaka Lima Belas Januari yang
populer dengan Malari (R.P Soejono ed, 2009:637)
Peristiwa itu
diawali oleh kegiatan para aktivis mahasiswa yang tergabung dalam grup-grup
diskusi yang mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah. Kritik-kritik mahasiswa
terhadap kebijakan pemerintah mulai terjadi sejak awal tahun 1970-an, berawal
dari grup-grup diskusi di kampus Universitas Indonesia (Salemba), berlanjut
dengan keputusan para mahasiswa untuk melakukan demonstrasi menentang kenaikan
harga bensin dan menuntut pemberantasan korupsi. Para mahasiswa juga meminta
pemerintah untuk meninjau kembali strategi pembangunan yang hanya menguntungkan
kaum kaya. Pada akhir Repelita I mahasiswa mensinyalir terjadinya penyelewengan
program pembangunan nasional yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah.
Kebijakan ekonomi yang memberikan keistimewaan kepada investor Jepang, dinilai
merugikan rakyat.
Ketika mereka
mendengar rencana kedatangan Perdana Menteri Jepang Tanaka ke Indonesia pada
tanggal 14 Januri 1974, para mahasiswa memanfaatkan momentum tersebut untuk
berdemostrasi menyampaikan tuntutannya. Menjelang kedatangan PM Tanaka, para
mahasiswa berdemonstrasi di depan kantor Ali Moertopo dengan membakar
boneka-boneka yang menggambarkan diri PM Tanaka serta Sudjono Humardani,
Asisten Pribadi (Aspri) Presiden.
Kemudian
setelah Tanaka tiba di Indonesia, ribuan mahasiswa berbaris menuju pusat kota
dengan menyebarkan plakat-plakat yang menuntut pembubaran Aspri Presiden,
penurunan harga, dan pemberantasan korupsi. Demonstrasi yang tadinya berjalan
damai, tiba-tiba berubah menjadi liar tidak terkendali yang akhirnya berkembang
menjadi huru-hara. Mobil-mobil Jepang dibakar, etalase gedung importir Toyota
Astra Company dihancurkan, pabrik Coca Cola diserang, dan kompleks pertokoan
Senen dijarah dan dibakar (Crouch, 1999:354). Sebagai buntut dari peristiwa
tersebut, 700 orang ditahan dan 45 orang diantaranya dipenjara. Untuk meredam
gerakan mahasiswa, dikeluarkan SK/028/1974 tentang petunjuk-petunjuk
Kebijaksanaan Dalam rangka Pembinaan Kehidupan Kampus Perguruan Tinggi.
Demonstrasi dilarang, kegiatan kemahasiswaan difokuskan pada bidang penalaran,
seperti diskusi dan seminar.
Selain
mengembalikan setiap dinamika kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan dalam
kerangka ketaatan terhadap Pancasila sebagai road map idiologis,
pemerintah Orde Baru menghimpun energi semua komponen bangsa kedalam agenda
bersama yang diformulasikan dalam bentuk Trilogi Pembangunan. Suatu rencana
kemandirian bangsa yang diletakkan pada pilar stabilitas, pembangunan di segala
bidang dan pemerataan pembangunan beserta hasil-hasilnya kepada seluruh rakyat.
Trilogi Pembangunan
Ø Stabilitas
nasional yang sehat dan dinamis.
Ø Pertumbuhan
ekonomi yang cukup tinggi.
Ø Pemerataan
pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada terciptanya keadilan sosial bagi
seluruh rakyat.
Semua
penghalang pembangunan, termasuk segala hal yang dapat memicu munculnya
instabilitas bangsa harus disingkirkan. Itulah kira-kira makna pesan yang
terangkum dalam Trilogi Pembangunan, yaitu terwujudnya stabilitas politik dan
keamanan, pembangunan di segala aspek kehidupan dan pemerataan pembangunan
beserta hasil-hasilnya.
Trilogi
Pembangunan itu tidak lain merupakan suatu rencana bangsa Indonesia yang
digelorakan Presiden Soeharto untuk mewujudkan tujuan negara sebagaimana amanat
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Negara yang ingin diwujudkan adalah sebuah
pemerintahan yang dapat melindungi segenap bangsa, mampu memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan mampu turut serta
melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial. Tujuan negara itu harus dicapai dengan berdasarkan Pancasila.
Stabilitas
nasional sendiri meliputi stabilitas keamanan, ekonomi dan politik. Stabilitas
Nasional bukan hanya merupakan prasyarat terselenggaranya pembangunan, akan
tetapi merupakan amanat sila kedua Pancasila untuk terwujudnya “Kemanusiaan
Yang Adil dan Beradab”. Kebebasan seseorang dibatasi oleh kebebasan orang lain
dan resultan dari kebebasan masingmasing individu itu berupa pranata kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berkeadaban. Oleh karena itu,
merupakan kebenaran universal di manapun jika bentuk-bentuk tindakan yang tidak
beradab, dalam aspek apapun tidak dapat ditoleransi.
Dari semua
usaha-usaha yang dilakukan oleh Presiden Soeharto pada masa awal
pemerintahannya, semuanya bertujuan untuk menggerakkan jalannya kegiatan
pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi bisa berjalan dengan baik jika ada
stabilitas politik dan keamanan.
2.
Stabilisasi
Penyeragaman
Depolitisasi
parpol dan ormas juga dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru melalui cara
penyeragaman ideologis melalui ideologi Pancasila. Dengan alasan Pancasila
telah menjadi konsensus nasional, keseragaman dalam pemahaman Pancasila perlu
disosialisasikan. Gagasan ini disampaikan oleh Presiden Soeharto pada acara
Hari Ulang Tahun ke-25 Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta, 19 Desember 1974.
Kemudian dalam pidatonya menjelang pembukaan Kongres Nasional Pramuka pada 12
Agustus 1976, di Jakarta, Presiden Soeharto menyerukan kepada seluruh rakyat
agar berikrar pada diri sendiri mewujudkan Pancasila dan mengajukan Eka
Prasetia bagi ikrar tersebut.
Presiden
Soeharto mengajukan nama Eka Prasetia Pancakarsa dengan maksud menegaskan bahwa
penyusunan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dipandang sebagai
janji yang teguh, kuat, konsisten, dan tulus untuk mewujudkan lima cita-cita
yaitu (1) takwa kepada Tuhan YME dan menghargai orang lain yang berlainan
agama/kepercayaan; (2) mencintai sesama manusia dengan selalui ingat kepada
orang lain, tidak sewenangwenang; (3) mencintai tanah air, menempatkan
kepentingan negara diatas kepentingan pribadi;(4) demokratis dan patuh pada
putusan rakyat yang sah; (5) suka menolong orang lain, sehingga dapat
meningkatkan kemampuan orang lain (Referensi Bahan Penataran P4 dalam Anhar
Gongong ed, 2005: 159).
Presiden
kemudian mengajukan draft P4 ini kepada MPR, Akhirnya, pada 21 Maret 1978
rancangan P4 disahkan menjadi Tap MPR No.II/MPR/1978. Setelah disahkan MPR,
pemerintah membentuk komisi Penasehat Presiden mengenai P4 yang dipimpin oleh
Dr. Roeslan Abdulgani. Sebagai badan pelaksananya dibentuk Badan Pembinaan
Pendidikan Pelaksana P4 (BP7) yang berkedudukan di Jakarta. Tugasnya adalah
untuk mengkoordinasi pelaksanaan program penataran P4 yang dilaksanakan pada
tingkat nasional dan regional.
Tujuan
penataran P4 adalah membentuk pemahaman yang sama mengenai Demokrasi Pancasila,
sehingga dengan pemahaman yang sama diharapkan persatuan dan kesatuan nasional
akan terbentuk dan terpelihara. Melalui penegasan tersebut maka opini rakyat
akan mengarah pada dukungan yang kuat terhadap pemerintah Orde Baru. Penataran P4
merupakan suatu bentuk indoktrinasi ideologi sehingga Pancasila menjadi bagian
dari sistem kepribadian, sistem budaya, dan sistem sosial masyarakat Indonesia.
Pegawai negeri
(termasuk pegawai BUMN), baik sipil maupun militer diharuskan mengikuti penataran
P4. Kemudian para pelajar, mulai dari sekolah menengah sampai Perguruan Tinggi,
juga diharuskan mengikuti penataran P4 yang dilakukan pada setiap awal tahun
ajaran atau tahun akademik.
Melalui
penataran P4 itu, pemerintah juga memberikan penekanan pada masalah “suku”,
“agama”, “ras”, dan “antargolongan”, (Sara). Menurut pemerintah Orde baru,
“sara” merupakan masalah yang sensitif di Indonesia yang sering menjadi
penyebab timbulnya konflik atau kerusuhan sosial. Oleh karena itu, masyarakat
tidak boleh mempermasalahkan hal-hal yang berkaitan dengan Sara. Secara tidak
langsung masyarakat dipaksa untuk berpikir seragam; dengan kata lain yang lebih
halus, harus mau bersikap toleran dalam arti tidak boleh membicarakan atau
menonjolkan perbedaan yang berkaitan dengan masalah sara. Meskipun demikian,
akhirnya konflik yang bermuatan sara itu tetap tidak dapat dihadiri. Pada tahun
1992 misalnya, terjadi konflik antara kaum muslim dan non muslim di Jakarta
(Ricklefs, 2005: 640). Demikian pula halnya dengan P4. Setelah beberapa tahun
berjalan, kritik datang dari berbagai kalangan terhadap pelaksanaan P4.
Berdasarkan pengamatan di lapangan banyak peserta penataran pada umumnya merasa
muak terhadap P4. Fakta ini kemudian disampaikan kepada Presiden agar masalah
P4 ditinjau kembali.
Setelah P4
menjadi Tap MPR dan dilaksanakan, selanjutnya orsospol yang diseragamkan dalam
arti harus mau menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas partai dan
organisasi, yang dikenal dengan sebutan “asas tunggal”. Gagasan asas tunggal
ini disampaikan oleh Presiden Soeharto dalam pidato pembukaan Rapat Pimpinan
ABRI (Rapim ABRI), di Pekanbaru , Riau, tanggal 27 Maret 1980 dan dilontarkan
kembali pada acara ulang tahun Korps Pasukan Sandi Yudha (Kopasandha) di
Cijantung, Jakarta 16 April 1980.
Gagasan Asas
Tunggal ini pada awalnya menimbulkan reaksi yang cukup keras dari berbagai
pemimpin umat Islam dan beberapa purnawirawan militer ternama. Meskipun
mendapat kritikan dari berbagai kalangan, Presiden Soeharto tetap meneruskan
gagasannya itu dan membawanya ke MPR. Melalui Sidang MPR ‘Asas Tunggal”
akhirnya diterima menjadi ketetapan MPR, yaitu; Tap MPR No.II/1983. Kemudian
pada 19 Januri 1985, pemerintah dengan persetujuan DPR, mengeluarkan
Undang-Undang No.3/1985 yang menetapkan bahwa partai-partai politik dan Golkar
harus menerima Pancasila sebagai asas tunggal mereka. Empat bulan kemudian,
pada tanggal 17 Juni 1985, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No.8/1985
tentang ormas, yang menetapkan bahwa seluruh organisasi sosial atau massa harus
mencantumkan Pancasila sebagai asas tunggal mereka. Sejak saat itu tidak ada lagi
orsospol yang berasaskan lain selain Pancasila, semua sudah seragam.. Demokrasi
Pancasila yang mengakui hak hidup “bhineka tunggal ika”, dipergunakan oleh
pemerintah Orde Baru untuk mematikan kebhinekaan, termasuk memenjarakan atau
mencekal tokoh-tokoh pengkritik kebijakan pemerintah Orde Baru.
3.
Penerapan
Dwi Fungsi ABRI
Konsep
Dwifungsi ABRI sendiri dipahami sebagai “jiwa, tekad dan semangat pengabdian
ABRI, untuk bersama-sama dengan kekuatan perjuangan lainnya, memikul tugas dan
tanggung jawab perjuangan bangsa Indonesia, baik di bidang hankam negara maupun
di bidang kesejahteraan bangsa dalam rangka penciptaan tujuan nasional,
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.” Berangkat dari pemahaman tersebut, ABRI
memiliki keyakinan bahwa tugas mereka tidak hanya dalam bidang hankam namun
juga non-hankam. Sebagai kekuatan hankam, ABRI merupakan suatu unsur dalam
lingkungan aparatur pemerintah yang bertugas di bidang kegiatan “melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.” Sebagai kekuatan sosial,
ABRI adalah suatu unsur dalam kehidupan politik di lingkungan masyarakat yang
bersama-sama dengan kekuatan sosial lainnya secara aktif melaksanakan
kegiatan-kegiatan pembangunan nasional.
Dwifungsi ABRI,
seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya diartikan bahwa ABRI memiliki dua
fungsi, yaitu fungsi sebagai pusat kekuatan militer Indonesia dan juga
fungsinya di bidang politik. Dalam pelaksanaannya pada era Soeharto, fungsi utama
ABRI sebagai kekuatan militer Indonesia memang tidak dapat dikesampingkan,
namun pada era ini, peran ABRI dalam bidang politik terlihat lebih signifikan
seiring dengan diangkatnya Presiden Soeharto oleh MPRS pada tahun 1968.
Secara umum,
intervensi ABRI dalam bidang poilitik pada masa Orde Baru yang mengatasnamakan
Dwifungsi ABRI ini salah satunya adalah dengan ditempatkannya militer di DPR,
MPR, maupun DPD tingkat provinsi dan kabupaten. Perwira yang aktif, sebanyak
seperlima dari jumlahnya menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPRD), dimana
mereka bertanggung jawab kepada komandan setempat, sedangkan yang di MPR dan
DPR tingkat nasional bertanggung jawab langsung kepada panglima ABRI. Selain
itu, para ABRI juga menempati posisi formal dan informal dalam pengendalian
Golkar serta mengawasi penduduk melalui gerakan teritorial di seluruh daerah
dari mulai Jakarta sampai ke dareah-daerah terpencil, salah satunya dengan
gerakan AMD (ABRI Masuk Desa). Keikutsertaan militer dalam bidang politik
secara umum bersifat antipartai. Militer percaya bahwa mereka merupakan pihak yang
setia kepada modernisasi dan pembangunan. Sedangkan partai politik dipandang
memiliki kepentingan-kepentingan golongan tersendiri.
Keterlibatan
ABRI di sektor eksekutif sangat nyata terutama melalui Golkar. Hubungan ABRI
dan Golkar disebut sebagai hubungan yang bersifat simbiosis mutualisme.
Contohnya pada Munas I Golkar di Surabaya (4-9 September 1973), ABRI mampu
menempatkan perwira aktif ke dalam Dewan Pengurus Pusat. Selain itu, hampir di
seluruh daerah tingkat I dan daerah tingkat II jabatan ketua Golkar dipegang
oleh ABRI aktif. Selain itu, terpilihnya Sudharmono sebagai wakil militer pada
pucuk pemimpin Golkar (pada Munas III) juga menandakan bahwa Golkar masih di
bawah kendali militer.
Selain dalam
sektor eksekutif, ABRI dalam bidang politik juga terlibat dalam sektor
legislatif. Meskipun militer bukan kekuatan politik yang ikut serta dalam pemilihan
umum, mereka tetap memiliki wakil dalam jumlah besar (dalam DPR dan MPR)
melalui Fraksi Karya ABRI. Namun keberadaan ABRI dalam DPR dipandang efektif
oleh beberapa pihak dalam rangka mengamankan kebijaksanaan eksekutif dan
meminimalisasi kekuatan kontrol DPR terhadap eksekutif. Efektivitas ini
diperoleh dari adanya sinergi antara Fraksi ABRI dan Fraksi Karya Pembangunan
dalam proses kerja DPR; serta adanya perangkat aturan kerja DPR yang dalam
batas tertentu membatasi peran satu fraksi secara otonom. Dalam MPR sendiri,
ABRI (wakil militer) mengamankan nilai dan kepentingan pemerintah dalam
formulasi kebijakan oleh MPR.
Pada masa Orde
Baru, pelaksanaan negara banyak didominasi oleh ABRI. Dominasi yang terjadi
pada masa itu dapat dilihat dari: (a). Banyaknya jabatan pemerintahan mulai
dari Bupati, Walikota, Gubernur, Pejabat Eselon, Menteri, bahkan Duta Besar
diisi oleh anggota ABRI yang “dikaryakan”, (b). Selain dilakukannya pembentukan
Fraksi ABRI di parlemen, ABRI bersama-sama Korpri pada waktu itu juga dijadikan
sebagai salah satu tulang punggung yang menyangga keberadaan Golkar sebagai
“partai politik” yang berkuasa pada waktu itu, (c). ABRI melalui berbagai
yayasan yang dibentuk diperkenankan mempunyai dan menjalankan berbagai bidang
usaha dan lain sebagainya.
4.
Rehabilitasi
Ekonomi Orde Baru
Seperti yang
telah diuraikan di atas, stabilisasi polkam diperlukan untuk pembangunan
ekonomi bagi kesejahteraan rakyat. Kondisi ekonomi yang diwarisi Orde Lama
adalah sangat buruk. Sektor produksi barang-barang konsumsi misalnya hanya
berjalan 20% dari kapasitasnya. Demikian pula sektor pertanian dan perkebunan
yang menjadi salah satu tumpuan ekspor juga tidak mengalami perkembangan yang
berarti. Hutang yang jatuh tempo pada akhir Desember 1965, seluruhnya berjumlah
2,358 Juta dollar AS. Dengan Perincian negara-negara yang memberikan hutang
pada masa Orde Lama adalah blok negara komunis (US $ 1.404 juta), negara Barat
(US $ 587 juta), sisanya pada negara-negara Asia dan badan-badan internasional.
Program
rehabilitasi ekonomi Orde Baru dilaksanakan berlandaskan pada Tap MPRS
No.XXIII/1966 yang isinya antara lain mengharuskan diutamakannya masalah
perbaikan ekonomi rakyat di atas segala soal-soal nasional yang lain, termasuk
soal-soal politik. Konsekuensinya kebijakan politik dalam dan luar negeri
pemerintah harus sedemikian rupa hingga benar-benar membantu perbaikan ekonomi
rakyat.
Bertolak dari
kenyataan ekonomi seperti itu, maka prioritas pertama yang dilakukan pemerintah
untuk rehabilitasi ekonomi adalah memerangi atau mengendalikan hiperinflasi
antara lain dengan menyusun APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara)
berimbang. Sejalan dengan kebijakan itu pemerintah Orde Baru berupaya
menyelesaikan masalah hutang luar negeri sekaligus mencari hutang baru yang
diperlukan bagi rehabilitasi maupun pembangunan ekonomi berikutnya.
Untuk
menanggulangi masalah hutang-piutang luar negeri itu, pemerintah Orde Baru
berupaya melakukan diplomasi yang intensif dengan mengirimkan tim negosiasinya
ke Paris, Perancis (Paris Club), untuk merundingkan hutang piutang
negara, dan ke London , Inggris (London Club) untuk merundingkan hutang-piutang
swasta. Sebagai bukti keseriusan dan itikad baik untuk bersahabat dengan negara
para donor, pemerintah Orde Baru sebelum pertemuan Paris Club telah mencapai
kesepakatan terlebih dahulu dengan pemerintah Belanda mengenai pembayaran ganti
rugi sebesar 165 juta dollar AS terhadap beberapa perusahaan mereka yang
dinasionalisasi oleh Orde Lama pada tahun 1958. Begitu pula dengan Inggris
telah dicapai suatu kesepakatan untuk membayar ganti rugi kepada perusahaan
Inggris yang kekayaannya disita oleh pemerintah RI semasa era konfrontasi pada
tahun 1965.
Sejalan dengan
upaya diplomasi ekonomi, pada 10 Januari 1967 pemerintah Orde Baru
memberlakukan UU No.1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) . Dengan
UU PMA, pemerintah ingin menunjukan kepada dunia internasional bahwa arah
kebijakan yang akan ditempuh oleh pemerintah Orde Baru, berbeda dengan Orde
Lama. Orde Baru tidak memusuhi investor asing dengan menuduh sebagai kaki
tangan imperialisme. Sebaliknya, aktivitas mereka dipandang sebagai prasyarat
yang dibutuhkan oleh sebuah negara yang ingin membangun perekonomiannya. Dengan
bantuan modal mereka, selayaknya mereka didorong dan dikembangkan untuk
memperbanyak investasi dalam berbagai bidang ekonomi. Sebab dengan investasi
mereka, lapangan kerja akan segera tercipta dengan cepat tanpa menunggu
pemerintah memiliki uang terlebih dahulu untuk menggerakan roda pembangunan nasional.
Upaya diplomasi
ekonomi ke negara-negara Barat dan Jepang itu, tidak hanya berhasil mengatur
penjadwalan kembali pembayaran hutang negara dan swasta yang jatuh tempo,
melainkan juga mampu meyakinkan dan menggugah negara-negara tersebut untuk
membantu Indonesia yang sedang terpuruk ekonominya. Hal ini terbukti antara
lain dengan dibentuknya lembaga konsorsium yang bernama Inter Governmental
Group on Indonesia (IGGI) . Proses pembentukan IGGI diawali oleh suatu
pertemuan antara para negara yang memiliki komitmen untuk membantu Indonesia
pada bulan Februari 1967, di Amsterdam. Inisiatif itu datang dari pemerintah Belanda.
Pertemuan ini juga dihadiri oleh delegasi Indonesia dan lembaga-lembaga bantuan
internasional. Dalam pertemuan itu disepakati untuk membentuk IGGI dan Belanda
ditunjuk sebagai ketuanya.
Selain
mengupayakan masuknya dana bantuan luar negeri, pemerintah Orde Baru juga
berupaya menggalang dana dari dalam negeri yaitu dana masyarakat. Salah satu
strategi yang dilakukan oleh pemerintah bersama–sama Bank Indonesia dan
bank-bank milik negara lainnya adalah berupaya agar masyarakat mau menabung.
Upaya lain adalah
menerbitkan UU Penanaman Modal Dalam Negeri (UUPMDN) No.6 1968. Satu hal dari
UUPMDN adalah adanya klausal yang menarik yang menyebutkan bahwa dalam
penanaman modal dalam negeri, perusahaan-perusahaan Indonesia harus menguasai
51% sahamnya. Untuk menindaklanjuti dan mengefektifkan UUPMA dan UUPMDN pada
tatanan pelaksanaannya, pemerintah membentuk lembaga-lembaga yang bertugas menanganinya.
Pada 19 Januari 1967, pemerintah membentuk Badan Pertimbangan Penanaman Modal
(BPPM). Berdasarkan Keppres no.286/1968 badan itu berubah menjadi Team Teknis
Penanaman Modal (TTPM). Pada Tahun 1973, TTPM digantikan oleh Badan Koordinasi
Penanaman Modal (BKPM) hingga saat ini.
Kebijakan-kebijakan
yang diambil pemerintah pada awal Orde Baru mulai menunjukan hasil positif.
Hiperinflasi mulai dapat dikendalikan, dari 650% menjadi 120% (1967), dan 80%
(1968), sehingga pada tahun itu diputuskan bahwa Rencana Pembangunan Lima Tahun
(Repelita) pertama akan dimulai pada tahun berikutnya (1969). Setelah itu pada
tahun-tahun berikutnya inflasi terus menurun menjadi 25% (1969), 12% (1970),
dan 10% (bahkan sampai 8.88%) pada tahun 1971.
5.
Kebijakan
Pembangunan Orde Baru
Tujuan
perjuangan Orde Baru adalah menegakkan tata kehidupan bernegara yang didasarkan
atas kemurnian pelaksanaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Sejalan
dengan tujuan tersebut maka ketika kondisi politik bangsa Indonesia mulai
stabil untuk melaksanakan amanat masyarakat maka pemerintah mencanangkan
pembangunan nasional yang diupayakan melalui Program Pembangunan Jangka Pendek
dan Pembangunan Jangka Panjang. Pembangunan Jangka Pendek dirancang melalui
pembangunan lima tahun (Pelita) yang di dalamnya memiliki misi pembangunan
dalam rangka mencapai tingkat kesejahteraan bangsa Indonesia.
Pada masa ini
pengertian pembangunan nasional adalah suatu rangkaian upaya pembangunan yang
berkesinambungan yang meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa, dan
negara. Pembangunan nasional dilakukan untuk melaksanakan tugas mewujudkan
tujuan nasional yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 yaitu melindungi
segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, meningkatkan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Dalam usaha
mewujudkan tujuan nasional maka Majelis Permusyawaratan Rakyat sejak tahun
1973-1978-1983-1988-1993 menetapkan garis-garis besar haluan negara (GBHN).
GBHN merupakan pola umum pembangunan nasional dengan rangkaian
program-programnya yang kemudian dijabarkan dalam rencana pembangunan lima
tahun (Repelita). Adapun Repelita yang berisi program-program kongkrit yang
akan dilaksanakan dalam kurun waktu lima tahun, dalam repelita ini dimulai
sejak tahun 1969 sebagai awal pelaksanaan pembangunan jangka pendek dan jangka
panjang. Kemudian terkenal dengan konsep Pembangunan Jangka Panjang Tahap I
(1969-1994) menurut indikator saat itu pembangunan dianggap telah berhasil
memajukan segenap aspek kehidupan bangsa dan telah meletakkan landasan yang
cukup kuat bagi bangsa Indonesia untuk memasuki Pembangunan Jangka Panjang Tahap
II (1995-2020).
Pemerintahan
Orde Baru senantiasa berpedoman pada tiga konsep pembangunan nasional yang
terkenal dengan sebutan Trilogi Pembangunan, yaitu: (1) pemerataan pembangunan
dan hasil-hasilnya yang menuju pada terciptanya keadilan sosial bagi seluruh
rakyat; (2) pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi; dan (3) stabilitas nasional
yang sehat dan dinamis.
Konsekuensi
dari pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi akibat pelaksanaan pembangunan tidak
akan bermakna apabila tidak diimbangi dengan pemerataan pembangunan. Oleh
karena itu, sejak Pembangunan Lima Tahun Tahap III (1 April 1979-31 Maret 1984)
maka pemerintahan Orde Baru menetapkan Delapan Jalur Pemerataan, yaitu: (1)
pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, khususnya pangan, sandang, dan
perumahan; (2) pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan
kesehatan; (3) pemerataan pembagian pendapatan; (4) pemerataan kesempatan
kerja; (5) pemerataan kesempatan berusaha; (6) pemerataan kesempatan
berpartisipasi dalam pembangunan, khususnya bagi generasi muda dan kaum wanita;
(7) pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh wilayah tanah air; dan (8) pemerataan
kesempatan memperoleh keadilan.
a. Pertanian
Sepanjang
1970-an hingga 1980-an dilakukan investasi besar-besaran untuk infrastruktur
Pembangunan Lima Tahun (Repelita), swasembada pangan merupakan fokus tersendiri
dalam rencana pembangunan yang dibuat oleh Soeharto. Pada Pelita I yang
dicanangkan landasan awal pembangunan Pemerintahan Orde Baru, dititikberatkan
pada pembangunan di sektor pertanian yang bertujuan mengejar keterbelakangan
ekonomi melalui proses pembaharuan sektor pertanian. Tujuan Pelita I,
meningkatkan taraf hidup rakyat melalui sektor pertanian yang ditopang oleh
kekuatan koperasi dan sekaligus meletakkan dasar-dasar pembangunan dalam tahapan
berikutnya.
Soeharto
membangun dan mengembangkan organisasi atau institusi yang akan menjalankan
program-program tersebut. Pembangunan ditekankan pada penciptaan institusi
pedesaan sebagai wahana pembangunan dengan membentuk Bimbingan Massal (Bimas)
yang diperuntukkan meningkatkan produksi beras dan koperasi sebagai organisasi
ekonomi masyarakat pedesaan. Sekaligus menjadi kepanjangan tangan pemerintah dalam
menyalurkan sarana pengolahan dan pemasaran hasil produksi. Di sisi lain
pemerintah juga menciptakan Badan Urusan Logistik (BULOG).
Kemudian
pemerintah melibatkan para petani melalui koperasi yang bertujuan memperbaiki
produksi pangan nasional. Untuk itu kemudian pemerintah mengembangkan ekonomi
pedesaan dengan menunjuk Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada dengan
membentuk Badan Usaha Unit Desa (BUUD). Maka lahirlah Koperasi Unit Desa (KUD) sebagai
bagian dari pembangunan nasional. Badan Usaha Unit Desa (BUUD)/KUD melakukan
kegiatan pengadaan pangan untuk persediaan nasional yang diperluas dengan tugas
menyalurkan sarana produksi pertanian (pupuk, benih dan obat-obatan).
Soeharto juga
mengembangkan institusi-institusi yang mendukung pertanian lainnya seperti institusi
penelitian seperti BPTP (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian) yang berkembang
untuk menghasilkan inovasi untuk pengembangan pertanian yang pada masa Soeharto
salah satu produknya yang cukup terkenal adalah Varietas Unggul Tahan Wereng
(VUTW).
Pemerintah Orde
Baru membangun pabrik-pabrik pupuk untuk penyediaan pupuk bagi petani. Para
petani diberi kemudahan memperoleh kredit bank untuk membeli pupuk. Pemasaran
hasil panen mereka dijamin dengan kebijakan harga dasar dan pengadaan pangan.
Diperkenalkan juga manajemen usaha tani, dimulai dari Panca Usaha Tani, Bimas,
Operasi khusus, dan Intensifikasi Khusus yang terbuktu mampu meningkatkan produksi
pangan, terutama beras. Saat itu, budi daya padi di Indonesia adalah yang
terbaik di Asia. Pemerintah memfasilitasi ketersediaan benih unggul, pupuk,
pestisida melalui subsidi yang terkontrol dengan baik. Pabrik pupuk yang
dibangun antara lain adalah Petro Kimia Gresik di Gresik, Pupuk Sriwijaya di
Palembang, dan Asean Aceh Fertilizer di Aceh.
Jaringan irigasi
teknis dibangun di berbagai daerah dan program pembibitan ditingkatkan. Di
dalam Pelita I Pertanian dan Irigasi dimasukkan sebagai satu bab tersendiri
dalam rincian rencana bidang-bidang. Di dalam rincian penjelasan dijelaskan
bahwa tujuannya adalah untuk peningkatan produksi pangan terutama beras.
Koperasi di
pedesaan terus dipacu untuk meningkatkan produktivitasnya. Kebijakan terus
mengalir guna menopang kegiatan di daerah pedesaan. BUUD yang semula hanya
dilibatkan dalam program Bimbingan Massal (Bimas sektor pertanian pangan),
kemudian ditingkatkan menjadi Koperasi Unit Desa (KUD) dengan tugas serta
peranan yang terus dikembangkan. Instruksi Presiden (Inpres) No.4, Tahun 1973,
Tentang Unit Desa dikeluarkan 5 Mei 1973, menjadi tonggak yuridis keberadaan KUD.
Kebijakan tersebut dilanjutkan dengan Instruksi Presiden No. 4, Tahun 1973,
yang membentuk Wilayah Unit Desa (Wilud), pada akhirnya menjadi Koperasi Unit
Desa (KUD). Dari sinilah lahir Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL), yang berada
di bawah Departemen Pertanian.
Para PPL
memperkenalkan dan menyebarluaskan teknologi pertanian kepada para petani
melalui kegiatan penyuluhan. Pemerintah menempatkan para penyuluh pertanian di
tingkat desa dan kelompok petani. Selain program penyuluhan, kelompencapir
(kelompok pendengar, pembaca, pemirsa), juga menjadi salah satu program
pembangunan pertanian Orde Baru yang khas. Kelompecapir merupakan wadah temu
wicara langsung antara petani, nelayan, dan peternak dengan sesama petani,
penyuluh, menteri atau bahkan dengan Presiden Soeharto. Kelompencapir juga menyelenggarakan
kompetisi cerdas cermat pertanian yang diikuti oleh para petani berprestasi
dari berbagai daerah sampai tingkat pusat. Kelompencapir merupakan program Orde
Baru di bidang pertanian yang dijalankan oleh Departemen Penerangan.
Kelompencapir diresmikan pada 18 Juni 1984, dengan keputusan Menteri Penerangan
Republik Indonesia No.110/Kep/Menpen/1984.
b. Pendidikan
Pada masa
kepemimpinan Soeharto pembangunan pendidikan mengalami kemajuan yang sangat penting.
Ada tiga hal yang patut dicatat dalam bidang pendidikan masa Orde Baru adalah
pembangunan Sekolah Dasar Inpres (SD Inpres), program wajib belajar dan
pembentukan kelompok belajar atau kejar. Semuanya itu bertujuan untuk
memperluas kesempatan belajar, terutama di pedesaan dan bagi daerah perkotaan
yang penduduknya berpenghasilan rendah.
Pada 1973,
Soeharto mengeluarkan Inpres No 10/1973 tentang Program Bantuan Pembangunan
Gedung SD. Pelaksanaan tahap pertama program SD Inpres adalah pembangunan 6.000
gedung SD yang masing-masing memiliki tiga ruang kelas. Dana pembangunan SD
Inpres tersebut berasal dari hasil penjualan minyak bumi yang harganya naik
sekitar 300 persen dari sebelumnya.
Pada
tahun-tahun awal pelaksanaan program pembangunan SD Inpres, hampir setiap
tahun, ribuan gedung sekolah dibangun. Sebelum program Rencana Pembangunan Lima
Tahun (Repelita) dilaksanakan, jumlah gedung SD yang tercatat pada tahun 1968
sebanyak 60.023 unit dan gedung SMP 5.897 unit. Pada awal Pelita VI, jumlah itu
telah meningkat menjadi sekitar 150.000 gedung SD dan 20.000 gedung SMP.
Pembangunan paling besar terjadi pada periode 1982/1983 ketika 22.600 gedung SD
baru dibuat. Hingga periode 1993/1994 tercatat hampir 150.000 unit SD Inpres
telah dibangun.
Peningkatan
jumlah sekolah dasar diikuti pula oleh peningkatan jumlah guru. Jumlah guru SD
yang sebelumnya berjumlah sekitar ratusan ribu, pada awal tahun 1994 menjadi
lebih dari satu juta guru. Satu juta lebih guru ditempatkan di sekolah-sekolah
inpres tersebut. Lonjakan jumlah guru dari puluhan ribu menjadi ratusan ribu
juga terjadi pada guru SMP. Total dana yang dikeluarkan untuk program ini
hingga akhir Pembangunan Jangka Panjang (PJP) I mencapai hampir Rp 6,5 triliun.
Program wajib
belajar pada era Soeharto mulai dilaksanakan pada 2 Mei 1984, di akhir Pelita
(Pembangunan Lima Tahun) III. Dalam sambutannya peresmian wajib belajar saat
itu, Soeharto menyatakan bahwa kebijakannya bertujuan untuk memberikan
kesempatan yang sama dan adil kepada seluruh anak Indonesia berusia 7-12 tahun
dalam menikmati pendidikan dasar. Program wajib belajar itu mewajibkan setiap
anak usia 7-12 tahun untuk mendapatkan pendidikan dasar 6 tahun (SD).
Program ini
tidak murni seperti kebijakan wajib belajar yang memiliki unsur paksaan dan
sanksi bagi yang tidak melaksankannya. Pemerintah hanya mengimbau orangtua agar
memasukkan anaknya yang berusia 7-12 tahun ke sekolah. Negara bertanggung jawab
terhadap penyediaan sarana dan prasarana pendidikan yang dibutuhkan, seperti
gedung sekolah, peralatan sekolah, di samping tenaga pengajarnya. Meski program
wajib belajar tidak diikuti oleh kebijakan pembebasan biaya pendidikan bagi anak-anak
dari keluarga kurang mampu, pemerintah waktu itu beruapya mengatasinya melalui
program beasiswa. Untuk itu, kemudian muncul program Gerakan Nasional-Orang Tua
Asuh (GN-OTA).
Dalam upaya
memperkuat pelaksanaan GN-OTA, diterbitkanlah Surat Keputusan Bersama Menteri
Sosial, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri
Agama Nomor 34/HUK/1996, Nomor 88 Tahun 1996, Nomor 0129/U/1996, Nomor 195
Tahun 1996 tentang Bantuan terhadap Anak Kurang Mampu, Anak Cacat, dan Anak yang
Bertempat Tinggal di Daerah Terpencil dalam rangka Pelaksanaan Wajib Belajar
Pendidikan Dasar.
Keberhasilan
program wajib belajar 6 tahun ditandai dengan kenaikan angka partisipasi
sekolah dasar (SD) sebesar 1,4 persen. Angka partisipasi SD menjadi 89,91
persen di akhir Pelita IV. Kenaikan angka partisipasi itu menambah kuat niat
pemerintah untuk memperluas kelompok usia anak yang ikut program wajib belajar
selanjutnya, menjadi 7-15 tahun, atau menyelesaikan tingkat Sekolah Menengah
Pertama (SMP).
Sepuluh tahun
kemudian, program wajar berhasil ditingkatkan menjadi 9 tahun, yang berarti
anak Indonesia harus mengenyam pendidikan hingga tingkat SMP. Upaya pelaksanaan
wajib belajar 9 tahun pada kelompok usia 7-15 tahun mulai diresmikan pada
Pencanangan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun pada 2 Mei 1994. Kebijakan
ini diperkuat dengan dikeluarkannya Inpres Nomor 1 Tahun 1994.
Program wajib
belajar telah meningkatkan taraf pendidikan masyarakat Indonesia saat itu.
Fokus utama ketika itu adalah peningkatan angka-angka indikator kualitas
pendidikan dasar. Fokus pembangunan pendidikan saat itu, yaitu peningkatan
secara kuantitatif, baru kemudian memerhatikan kualitas atau mutu pendidikan.
Setelah
perluasan kesempatan belajar untuk anak-anak usia sekolah, sasaran perbaikan
bidang pendidikan selanjutnya adalah pemberantasan buta aksara. Hal itu
disebabkan oleh kenyataan bahwa masih banyak penduduk yang buta huruf. Dalam
upaya meningkatkan angka melek huruf, pemerintahan Orde Baru mencanangkan
penuntasan buta huruf pada 16 Agustus 1978. Cara yang ditempuh adalah dengan
pembentukan kelompok belajar atau ”kejar”.
Kejar merupakan
program pengenalan huruf dan angka bagi kelompok masyarakat buta huruf yang
berusia 10-45 tahun. Tutor atau pembimbing setiap kelompok adalah masyarakat
yang telah dapat membaca, menulis dan berhitung dengan pendidikan minimal
sekolah dasar. Jumlah peserta dan waktu pelaksanaan dalam setiap kejar
disesuaikan dengan kondisi setiap tempat.
Keberhasilan
program kejar salah satunya terlihat dari angka statistik penduduk buta huruf
yang menurun. Pada sensus tahun 1971, dari total jumlah penduduk 80 juta jiwa,
Indonesia masih memiliki 39,1 persen penduduk usia 10 tahun ke atas yang
berstatus buta huruf. Sepuluh tahun kemudian, menurut sensus tahun 1980,
persentase itu menurun menjadi hanya 28,8 persen. Hingga sensus berikutnya
tahun 1990, angkanya terus menyusut menjadi 15,9 persen.
c. Keluarga
Berencana (KB)
Pada masa Orde
Baru dilaksanakan program untuk pengendalian pertumbuhan penduduk yang dikenal
dengan Keluarga Berencana (KB). Pada tahun 1967 pertumbuhan penduduk Indonesia
mencapai 2,6% dan pada tahun 1996 telah menurun drastis menjadi 1,6%.
Pengendalian
penduduk dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas rakyat Indonesia dan
peningkatan kesejahteraannya. Keberhasilan ini dicapai melalui program KB yang
dilaksanakan oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).
Berbagai
kampanye mengenai perlunya KB dilakukan oleh pemerintah, baik melalui media massa
cetak maupun elektronik. Pada akhir tahun 1970-an sampai akhir tahun 1980-an di
Televisi Republik Indonesia (TVRI) sering diisi oleh acara-acara mengenai
pentingnya KB. Baik itu melalui berita atau acara hiburan seperti drama dan
wayang orang “Ria Jenaka”. Di samping itu nyanyian mars “Keluarga Berencana”
ditayangkan hampir setiap hari di TVRI. Selain di media massa, di papan iklan
di pinggir-pinggir jalan pun banyak dipasang mengenai pesan pentingnya KB.
Demikian pula dalam mata uang koin seratus rupiah dicantumkan mengenai KB. Hal
itu menandakan bahwa Orde Baru sangat serius dalam melaksanakan program KB.
Slogan yang muncul dalam kampanyekampanye KB adalah “dua anak cukup, laki perempuan
sama saja”.
Program KB di
Indonesia, diawali dengan ditandatanganinya Deklarasi Kependudukan PBB pada
tahun 1967 sehingga secara resmi Indonesia mengakui hak-hak untuk menentukan
jumlah dan jarak kelahiran sebagai hak dasar manusia dan juga pentingnya
pembatasan jumlah penduduk sebagai unsur perencanaan ekonomi dan sosial.
Keberhasilan
Indonesia dalam pengendalian jumlah penduduk dipuji oleh UNICEF, karena dinilai
berhasil menekan tingkat kematian bayi dan telah melakukan berbagai upaya lainnya
dalam rangka mensejahterakan kehidupan anak-anak di tanah air. UNICEF bahkan
mengemukakan bahwa tindakan yang telah dilakukan pemerintah Indonesia itu
hendaknya dijadikan contoh bagi negara-negara lain yang tingkat kematian
bayinya masih tinggi.
Program KB di
Indonesia sebagai salah satu yang paling sukses di dunia, sehingga menarik
perhatian dunia untuk mengikuti kesuksesan Indonesia. Pemerintah pun
mengalokasikan sumber daya dan dana yang besar untuk program ini.
d. Kesehatan
Masyarakat, Posyandu
Perkembangan
puskesmas bermula dari konsep Bandung Plan diperkenalkan oleh dr. Y. Leimena
dan dr. Patah pada tahun 1951, Bandung Plan merupakan suatu konsep pelayanan
yang menggabungkan antara pelayanan kuratif dan preventif. Tahun 1956
didirikanlah proyek Bekasi oleh dr. Y. Sulianti di Lemah Abang, yaitu model
pelayanan kesehatan pedesaan dan pusat pelatihan tenaga.
Kemudian
didirikan Health Centre (HC) di 8 lokasi, yaitu di Indrapura (Sumut),
Bojong Loa (Jabar), Salaman (Jateng), Mojosari (Jatim), Kesiman (Bali), Metro
(Lampung), DIY dan Kalimantan Selatan. Pada 12 November 1962 Presiden Soekarno
mencanangkan program pemberantasan malaria dan pada tanggal tersebut menjadi
Hari Kesehatan Nasional (HKN).
Konsep Bandung
Plan terus dikembangkan, tahun 1967 diadakan seminar konsep Puskesmas. Pada
tahun 1968 konsep Puskesmas ditetapkan dalam Rapat Kerja Kesehatan Nasional
dengan disepakatinya bentuk Puskesmas yaitu Tipe A, B & C. Kegiatan
Puskesmas saat itu dikenal dengan istilah ’Basic’. Ada Basic 7, Basic 13 Health
Service yaitu : KIA, KB, Gizi Mas, Kesling, P3M, PKM, BP, PHN, UKS, UHG,
UKJ, Lab, Pencatatan dan Pelaporan. Pada tahun 1969, Tipe Puskesmas menjadi A
& B. Pada tahun 1977 Indonesia ikut menandatangi kesepakatan Visi : ”Health
For All By TheYear 2000”, di Alma Ata, negara bekas Federasi Uni Soviet,
pengembangan dari konsep ”Primary Health Care”. Tahun 1979 Puskesmas
tidak ada pen’tipe’an, dan dikembangkan piranti manajerial perencanaan dan
penilaian Puskesmas yaitu ’ Micro Planning dan sertifikasi pusakesmas.
Pada tahun 1984
dikembangkan Posyandu, yaitu pengembangan dari pos penimbangan dan kurang gizi.
Posyandu dengan 5 programnya yaitu, KIA, KB, Gizi, Penanggulangan Diare dan
Imunisasi. Posyandu bukan saja untuk pelayanan balita tetapi juga untuk
pelayanan ibu hamil. Bahkan pada waktu-waktu tertentu untuk promosi dan
distribusi Vit.A, Fe, Garam Yodium, dan suplemen gizi lainnya. Bahkan Posyandu
saat ini juga menjadi andalah kegiatan penggerakan masyarakat (mobilisasi
sosial) seperti PIN, Campak, dan Vit A.
Perkembangan
puskesmas menampakan hasilnya pada era Orde Baru, salah satu indikatornya
adalah semakin baiknya tingkat kesehatan. Pada sensus 1971 hanya ada satu
dokter untuk melayani 20,9 ribu penduduk. Sensus 1980, menunjukkan bahwa satu
tenaga dokter untuk 11,4 ribu penduduk.
C.
Integrasi Timor-Timur
Integrasi
Timor-Timur ke dalam wilayah Indonesia tidak terlepas dari situasi politik
internasional saat itu, yaitu perang dingin dimana konstelasi geopolitik kawasan
Asia Tenggara saat itu terjadi perebutan pengaruh dua blok yang sedang bersaing
pada saat itu yaitu Blok Barat (Amerika Serikat) dan Blok Timur (Uni Soviet) .
Dengan kekalahan Amerika Serikat di Vietnam pada tahun 1975, berdasarkan teori
domino yang diyakini oleh Amerika Serikat bahwa kejatuhan Vietnam ke tangan
kelompok komunis akan merembet ke wilayah–wilayah lainnya. Berdirinya
pemerintahan Republik Demokratik Vietnam yang komunis dianggap sebagai ancaman
yang bisa menyebabkan jatuhnya negara-negara di sekitarnya ke tangan
pemerintahan komunis.
Kemenangan
komunis di Indocina (Vietnam) secara tidak langsung juga membuat khawatir para
elit Indonesia (khususnya pihak militer). Pada saat yang sama di wilayah koloni
Portugis (Timor-Timur) yang berbatasan secara langsung dengan wilayah Indonesia
terjadi krisis politik. Krisis itu sendiri terjadi sebagai dampak kebebasan
yang diberikan oleh pemerintah baru Portugal di bawah pimpinan Jenderal Antonio
de Spinola. Ia telah melakukan perubahan dan berusaha mengembalikan hak-hak
sipil, termasuk hak demokrasi masyarakatnya, bahkan dekolonisasi.
Di Timor-Timur
muncul tiga partai politik besar yang memanfaatkan kebebasan yang diberikan
oleh pemerintah Portugal. Ketiga partai politik itu adalah: (1) Uniao
Democratica Timorense (UDT-Persatuan Demokratik Rakyat Timor) yang ingin
merdeka secara bertahap. Untuk tahap awal UDT menginginkan Timor-Timur menjadi
negara bagian dari Portugal: (2) Frente Revoluciondria de Timor Leste
Independente (Fretilin-Front Revolusioner Kemerdekaan Timor-Timur) yang
radikal –Komunis dan ingin segera merdeka; dan (3) Associacau Popular
Democratica Timurense (Apodeti- Ikatan Demokratik Popular Rakyat Timor)
yang ingin bergabung dengan Indonesia. Selain itu terdapat dua Partai kecil,
yaitu Kota dan Trabalista. Ketiga partai tersebut saling
bersaing, bahkan timbul konflik berupa perang saudara.
Pada tanggal 31
Agustus 1974 ketua umum Apodeti, Arnaldo dos Reis Araujo, menyatakan partainya
menghendaki bergabung dengan Republik Indonesia sebagai provinsi ke-27.
Pertimbangan yang diajukan adalah rakyat di kedua wilayah tersebut mempunyai
persamaan dan hubungan yang erat, baik secara historis dan
etnis maupun geografis. Menurutnya integrasi akan menjamin stabilitas politik
di wilayah tersebut. Pernyataan tokoh Apodeti itu mendapat respons yang cukup
positif dari para elit politik Indonesia, terutama dari kalangan elit militer,
yang pada dasarnya memang merasa khawatir jika Timor-Timur yang berada di
“halaman belakang” jatuh ke tangan komunis. Meskipun demikian, pemerintah
Indonesia tidak serta merta menerima begitu saja keinginan orang-orang Apodeti.
Timor-Timur
yang menginginkan integrasi Keterlibatan Indonesia secara langsung di
Timor-Timur terjadi setelah adanya permintaan dari para pendukung “Proklamasi
Balibo”, yang terdiri UDT bersama Apodeti, Kota dan Trabalista. Keempat partai
itu pada tanggal 30 November 1975 di kota Balibo mengeluarkan pernyataan untuk
bergabung dengan pemerintahan Republik Indonesia. Pada tanggal 31 Mei 1976 DPR Timor-Timur
mengeluarkan petisi yang isinya mendesak pemerintah Republik Indonesia agar
secepatnya menerima dan mengesahkan bersatunya rakyat dan wilayah Timor Timur
ke dalam Negara Republik Indonesia.
Atas keinginan
bergabung rakyat Timor Timur dan permintaan bantuan yang diajukan, pemerintah
Indonesia lalu menerapkan “Operasi Seroja” pada Desember 1975. Operasi militer
ini diam-diam didukung oleh Amerika Serikat (AS) yang tidak ingin pemerintahan
komunis berdiri di Timor Timur. Pada masa itu Perang Dingin antara AS dengan
Uni Sovyet yang komunis memang tengah berlangsung.
Bersamaan
dengan operasi-operasi keamanan yang dilakukan, pemerintah Indonesia dengan
cepat juga menjalankan proses pengesahan Timor Timur ke dalam wilayah Indonesia
dengan mengeluarkan UU no. 7 Tahun 1976 tentang Pengesahan Penyatuan Timor
Timur ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan pembentukan Daerah
Tingkat I Timor Timur. Pengesahan ini akhirnya diperkuat melalui Tap MPR nomor
IV/MPR/1978. Timor Timur secara resmi menjadi propinsi ke 27 di wilayah negara
kesatuan Republik Indonesia.
Negara-negara
tetangga dan pihak Barat, termasuk Amerika Serikat dan Australia dengan
alasannya masing-masing umumnya mendukung tindakan Indonesia. Kekhawatiran akan
jatuhnya Timor-Timur ke tangan komunis membuat negara-negara Barat (khususnya
Amerika Serikat dan Australia) secara diam-diam mendukung tindakan Indonesia.
Mereka secara de-facto dan selanjutnya de-jure integrasi
Timor-Timur ke wilayah Indonesia. Akan tetapi, penguasaan Indonesia terhadap
wilayah itu ternyata menimbulkan banyak permasalahan yang berkelanjutan,
terutama setelah berakhirnya “perang dingin” dan runtuhnya Uni Soviet.
D.
Dampak Kebijakan
Politik dan Ekonomi Masa Orde Baru
Pendekatan
keamanan yang diterapkan oleh pemerintah Orde Baru dalam menegakkan stabilisasi
nasional secara umum memang berhasil menciptakan suasana aman bagi masyarakat
Indonesia. Pembangunan ekonomi pun berjalan baik dengan pertumbuhan ekonomi
yang tinggi karena setiap program pembangunan pemerintah terencana dengan baik
dan hasilnya dapat terlihat secara kongkret. Indonesia berhasil mengubah status
dari negara pengimpor beras menjadi bangsa yang bisa memenuhi kebutuhan beras
sendiri (swasembada beras). Penurunan angka kemiskinan yang diikuti dengan perbaikan
kesejahteraan rakyat, penurunan angka kematian bayi dan angka partisipasi
pendidikan dasar yang meningkat.
Namun, di sisi
lain kebijakan politik dan ekonomi pemerintah Orde Baru juga memberi beberapa
dampak yang lain, baik di bidang ekonomi dan politik. Dalam bidang politik,
pemerintah Orde Baru cenderung bersifat otoriter, Presiden mempunyai kekuasaan
yang sangat besar dalam mengatur jalannya pemerintahan. Peran negara menjadi
semakin kuat yang menyebabkan timbulnya pemerintahan yang sentralistis.
Pemerintahan sentralistis ditandai dengan adanya pemusatan penentuan kebijakan
publik pada pemerintah pusat. Pemerintah daerah diberi peluang yang sangat
kecil untuk mengatur pemerintahan dan mengelola anggaran daerahnya sendiri.
Otoritarianisme merambah segenap aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara termasuk kehidupan politik.
Pemerintah Orde
Baru dinilai gagal memberikan pelajaran berdemokrasi yang baik, Golkar dianggap
menjadi alat politik untuk mencapai stabilitas yang diinginkan, sementara dua
partai lainnya hanya sebagai alat pendamping agar tercipta citra sebagai negara
demokrasi. Sistem perwakilan bersifat semu bahkan hanya dijadikan topeng untuk
melanggengkan sebuah kekuasaan secara sepihak. Demokratisasi yang terbentuk
didasarkan pada KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), sehingga banyak wakil
rakyat yang duduk di MPR/ DPR yang tidak mengenal rakyat dan daerah yang
diwakilinya.
Meskipun
pembangunan ekonomi Orde Baru menunjukan perkembangan yang menggembirakan,
namun dampak negatifnya juga cukup banyak. Dampak negatif ini disebabkan
kebijakan Orde Baru yang terlalu memfokuskan/
mengejar pada pertumbuhan ekonomi, yang berdampak buruk bagi terbentuknya
mentalitas dan budaya korupsi para pejabat di Indonesia.
Distribusi
hasil pembangunan dan pemanfaatan dana untuk pembangunan tidak dibarengi kontrol
yang efektif dari pemerintah terhadap aliran dana tersebut sangat rawan untuk
disalahgunakan. Pertumbuhan ekonomi tidak dibarengi dengan terbukanya akses dan
distribusi yang merata sumber-sumber ekonomi kepada masyarakat. Hal ini
berdampak pada munculnya kesenjangan sosial dalam masyarakat Indonesia,
kesenjangan kota dan desa, kesenjangan kaya dan miskin, serta kesenjangan
sektor industri dan sektor pertanian.
Selain
masalah–masalah diatas, tidak sedikit pengamat hak asasi manusia (HAM) dalam
dan luar negeri yang menilai bahwa pemerintahan Orde Baru telah melakukan
tindakan antidemokrasi dan diindikasikan telah melanggar HAM. Amnesty
International misalnya dalam laporannya pada 10 Juli 1991 menyebut Indonesia
dan beberapa negara Timur Tengah, Asia Pasifik, Amerika Latin, dan Eropa Timur,
sebagai pelanggar HAM. Human Development Report 1991 yang disusun oleh United
Nations Development Program (UNDP) juga menempatkan Indonesia kepada urutan
ke 77 dari 88 pelanggar HAM (Anhar Gonggong ed, 2005:190).
Sekalipun
Indonesia menolak laporan kedua lembaga internasional tadi dengan alasan tidak
“fair”dan kriterianya tidak jelas, akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa di
dalam negeri sendiri pemerintah Orde Baru dinilai telah melakukan beberapa
tindakan yang berindikasi pelanggaran HAM. Dalam kurun waktu 1969-1983
misalnya, dapat disebut peristiwa Pulau Buru (Tempat penjara bagi orang-orang
yang diindikasikan terlibat PKI) (1969-1979), peristiwa Malari (Januari 1974)
yang berujung pada depolitisasi kampus. Kemudian pencekalan terhadap Petisi 50
(5 Mei 1980). Pada kurun waktu berikutnya, (1983-1988), terdapat dua peristiwa,
yaitu peristiwa Penembak Misterius – Petrus (Juli 1983), Peristiwa Tanjung
Priok (September 1984). Pada kurun 1988-1993, terdapat peristiwa Warsidi
(Februari 1989), Daerah Operasi Militer (DOM) Aceh (1989-1998), Santa Cruz
(November 1991), Marsinah (Mei 1993), Haur Koneng (Juli 1993), dan Peristiwa
Nipah (September 1993). Sedangkan dalam kurun 1993-1998 antara lain terjadi
peristiwa Jenggawah (Januari 1996), Padang Bulan (Februari 1996), Freeport
(Maret 1996), Abepura (Maret 1996), Kerusuhan Situbondo (Oktober 1996), Dukun
Santet Banyuwangi (1998), Tragedi Trisakti (12 Mei 1998).
Dengan situasi
politik dan ekonomi seperti diatas, keberhasilan pembangunan nasional yang
menjadi kebanggaan Orde Baru yang berhasil meningkatkan GNP Indonesia ke
tingkat US$ 600 di awal tahun 1980-an, kemudian meningkat lagi sampai US$ 1300
perkapita diawal dekade 1990-an, serta menobatkan Presiden Soeharto sebagai “ Bapak
Pembangunan” menjadi seolah tidak bermakna. Sebab meskipun pertumbuhan ekonomi
meningkat tetapi secara fundamental pembangunan tidak merata tampak dengan
adanya kemiskinan di sejumlah wilayah yang justru menjadi penyumbang terbesar
devisa negara seperti di Riau, Kalimantan Timur dan Irian Barat/Papua. Faktor
inilah yang selanjutnya menjadi salah satu penyebab terpuruknya perekenomian
Indonesia menjelang akhir tahun 1997.