Orientasi politik luar negeri Indonesia di awal reformasi masih
sangat dipengaruhi oleh kondisi domestik akibat krisis multidimensi akibat
transisi pemerintahan. Perhatian utama politik luar negeri Indonesia diarahkan
pada upaya pemulihan kembali kepercayaan dunia internasional terhadap Indonesia
serta memulihkan perekonomian nasional. Politik luar negeri Indonesia saat itu
lebih banyak dipengaruhi oleh perkembangan politik domestik daripada politik
internasional.
Pada masa awal reformasi yang dimulai oleh pemerintahan Presiden B.J.Habibie,
pemerintah Habibie disibukkan dengan usaha memperbaiki citra Indonesia di
kancah internasional yang sempat terpuruk sebagai dampak krisis ekonomi di
akhir era Orde Baru dan kerusuhan pasca jajak pendapat di Timor-Timur. Lewat
usaha kerasnya, Presiden Habibie berhasil menarik simpati dari Dana Moneter
Internasional/International Monetary Funds (IMF) dan Bank Dunia untuk
mencairkan program bantuan untuk mengatasi krisis ekonomi.
Pada masa pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid, hubungan RI
dengan negara-negara Barat mengalami sedikit masalah setelah lepasnya Timor-Timur
dari NKRI. Presiden Wahid memiliki cita-cita mengembalikan citra Indonesia di
mata internasional. Untuk itu beliau banyak melakukan kunjungan kenegaraan ke
luar negeri. Dalam setiap kunjungan luar negeri yang ekstensif, selama masa
pemerintahan yang singkat Presiden Wahid secara konstan mengangkat isu-isu
domestik dalam setiap pertemuannya dengan setiap kepala negara yang
dikunjunginya. Termasuk dalam hal ini, selain isu Timor-Timur, adalah soal
integritas tertorial Indonesia seperti kasus Aceh, Papua dan isu perbaikan
ekonomi.
Diplomasi di era pemerintahan Abdurrahman Wahid dalam konteks kepentingan
nasional selain mencari dukungan pemulihan ekonomi, rangkaian kunjungan ke
mancanegara diarahkan pula pada upaya-upaya menarik dukungan mengatasi konflik
domestik, mempertahankan integritas teritorial Indonesia, dan hal yang tak
kalah penting adalah demokratisasi melalui proses peran militer agar kembali ke
peran profesional. Ancaman integrasi nasional di era Presiden Wahid menjadi
kepentingan nasional yang sangat mendesak dan diprioritaskan.
Megawati dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia pada tanggal
23 Juli 2001. Pada awal pemerintahannya, suasana politik dan keamanan menjadi sejuk
dan kondusif. Walaupun ekonomi Indonesia mengalami perbaikan, seperti nilai
tukar rupiah yang agak stabil, tetapi Indonesia pada masa pemerintahannya tetap
saja tidak menunjukkan perubahan yang berarti dalam bidang-bidang lainnya.
Belajar dari pemerintahan presiden yang sebelumnya, Presiden
Megawati lebih memerhatikan dan memertimbangkan peran DPR dalam penentuan kebijakan
luar negeri dan diplomasi seperti diamanatkan dalam UUD 1945. Presiden Megawati
juga lebih memprioritaskan diri untuk mengunjungi Wilayah-wilayah konflik di
Tanah Air seperti Aceh, Maluku, Irian Jawa, Kalimantan Selatan atau Timor
Barat.
Pada era pemerintahan Megawati, disintegrasi nasional masih
menjadi ancaman bagi keutuhan teritorial. Selain itu, pada masa pemerintahan Megawati
juga terjadi serangkaian ledakan bom di tanah air. Sehingga dapat dipahami,
jika isu terorisme menjadi perhatian serius bagi pemerintahan Megawati.
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dilantik menjadi Presiden ke-6
Republik Indonesia pada tanggal 20 Oktober 2004. SBY merupakan Presiden
Indonesia pertama yang dipilih melalui mekanisme pemilihan umum secara
langsung.
SBY berhasil mengubah citra Indonesia dan menarik investasi asing dengan
menjalin berbagai kerjasama dengan banyak negara pada masa pemerintahannya,
antara lain dengan Jepang. Perubahan-perubahan global pun dijadikannya sebagai
peluang. Politik luar negeri Indonesia di masa pemerintahan SBY diumpamakan
dengan istilah ‘mengarungi lautan bergelombang’, bahkan ‘menjembatani dua
karang’. Hal tersebut dapat dilihat dengan berbagai insiatif Indonesia untuk
menjembatani pihak-pihak yang sedang bermasalah. Indonesia tidak pandang bulu
bergaul dengan negara manapun sejauh memberikan manfaat bagi Indonesia.