Setelah
proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia belum memiliki
rumusan yang jelas mengenai bentuk politik luar negerinya. Akan tetapi pada
masa tersebut politik luar negeri Indonesia sudah memiliki landasan operasional
yang jelas, yaitu hanya mengonsentrasikan diri pada tiga sasaran utama yaitu;
1). Memperoleh pengakuan internasional terhadap kemerdekaan RI, 2).
Mempertahankan kemerdekaan RI dari segala usaha Belanda untuk kembali bercokol
di Indonesia, 3). Mengusahakan serangkaian diplomasi untuk penyelesaian
sengketa Indonesia-Belanda melalui negosiasi dan akomodasi kepentingan, dengan
menggunakan bantuan negara ketiga dalam bentuk good office ataupun
mediasi dan juga menggunakan jalur Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Sesuai
dengan sasaran utama kebijakan politik luar negeri sebagaimana disebut di atas,
maka Indonesia harus berusaha memperkuat kekuatan diplomasinya dengan menarik
simpati negara-negara lain.
Dalam
perang dingin yang sedang berkecamuk antara Blok Amerika (Barat) dengan Blok
Uni Soviet (Timur) pada masa awal berdirinya negara Indonesia, Indonesia
memilih sikap tidak memihak kepada salah satu blok yang ada. Hal ini untuk
pertama kali diuraikan Syahrir, yang pada waktu itu menjabat sebagai Perdana
Menteri di dalam pidatonya pada Inter Asian Relations Conference di New Delhi
pada tanggal 23 Maret–2 April 1947. Dalam pidatonya tersebut, Syahrir mengajak
bangsa-bangsa Asia untuk bersatu atas dasar kepentingan bersama demi
tercapainya perdamaian dunia, yang hanya bisa dicapai dengan cara hidup
berdampingan secara damai antar bangsa serta menguatkan ikatan antara bangsa
ataupun ras yang ada di dunia. Dengan demikian di dalam perang dingin antara
Amerika Serikat dan Uni Soviet yang memecah belah persatuan, sikap tidak
memihak adalah sikap yang paling tepat untuk menciptakan perdamaian dunia atau
paling tidak meredakan perang dingin tersebut.
Keinginan
Indonesia pada awal kemerdekaannya untuk tidak memihak dalam perang dingin
tersebut selain untuk meredakan ketegangan yang ada juga dilatarbelakangi oleh
kepentingan nasional Indonesia saat itu, yaitu mencari dukungan dunia
Internasional terhadap perjuangan kemerdekaannya. Oleh karena itu, keterikatan
pada salah satu kubu (blok) yang ada belum tentu akan mendatangkan keuntungan
bagi perjuangan kemerdekaannya. Karena pada waktu itu negara-negara dari Blok
Barat (Amerika) masih ragu-ragu untuk mendukung perjuangan kemerdekaan
Indonesia menghadapi Belanda yang juga termasuk salah satu dari Blok Barat. Di
lain pihak, para pemimpin Indonesia saat itu juga masih ragu-ragu dan belum
dapat memastikan apa tujuan sebenarnya dari dukungan-dukungan yang diberikan
negara Blok Timur terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia di forum PBB.
Selain itu, Indonesia pada saat itu disibukkan oleh usaha mendapatkan pengakuan
atas kedaulatannya, sehingga Indonesia harus berkonsentrasi pada masalah tersebut.
Secara
resmi politik luar negeri Indonesia baru mendapatkan bentuknya pada saat Wakil
Presiden Mohammad Hatta memberikan keterangannya kepada BP KNIP (Badan Pekerja
Komite Nasional Indonesia Pusat) mengenai kedudukan politik Indonesia pada
bulan September 1948, pada saat itu Hatta mengatakan bahwa:
“………tetapi
mestikah kita bangsa Indonesia yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan
negara kita, harus memilih antara pro-Rusia atau pro-Amerika. Apakah tidak ada
pendirian yang lain yang harus kita ambil dalam mengejar cita-cita kita?
Pemerintahan berpendapat bahwa pendirian yang harus kita ambil ialah supaya
kita jangan menjadi objek dalam pertarungan politik Internasional, melainkan
kita harus menjadi subyek yang berhak menentukan sikap kita sendiri, berhak memperjuangkan
tujuan kita sendiri, yaitu Indonesia merdeka seluruhnya.” ( Sumber: Sejarah Diplomasi
RI dari Masa ke Masa, Deplu, 2004)
Dari
pernyataan Mohammad Hatta tersebut jelas terlihat bahwa Indonesia berkeinginan
untuk tidak memihak salah satu blok yang ada pada saat itu. Bahkan bercita-cita
untuk menciptakan perdamaian dunia yang abadi atau minimal meredakan perang
dingin yang ada dengan cara bersahabat dengan semua negara baik di Blok Barat
maupun di Blok Timur, karena hanya dengan cara demikian cita-cita perjuangan
kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia dapat dicapai. Tetapi walaupun
Indonesia memilih untuk tidak memihak kepada salah satu blok yang ada, hal itu
tidak berarti Indonesia berniat untuk menciptakan blok baru. Karena itu menurut
Hatta, Indonesia juga tidak bersedia mengadakan atau ikut campur dengan suatu
blok ketiga yang dimaksud untuk mengimbangi kedua blok raksasa itu.
Sikap yang
demikian inilah yang kemudian menjadi dasar politik luar negeri Indonesia yang
biasa disebut dengan istilah Bebas Aktif, yang artinya dalam menjalankan
politik luar negerinya Indonesia tidak hanya tidak memihak tetapi juga “aktif“
dalam usaha memelihara perdamaian dan meredakan pertentangan yang ada di antara
dua blok tersebut dengan cara “bebas“ mengadakan persahabatan dengan semua
negara atas dasar saling menghargai.
Sejak
Mohammad Hatta menyampaikan pidatonya berjudul ”Mendayung Antara Dua Karang” di
depan Sidang BP KNIP pada bulan September 1948, Indonesia menganut politik luar
negeri bebas-aktif yang dipahami sebagai sikap dasar Indonesia yang menolak
masuk dalam salah satu Blok negaranegara superpower, menentang pembangunan
pangkalan militer asing di dalam negeri, serta menolak terlibat dalam pakta
pertahanan negara-negara besar. Namun, Indonesia tetap berusaha aktif terlibat
dalam setiap upaya meredakan ketegangan di dunia internasional (Pembukaan UUD
1945).
Politik
luar negeri RI yang bebas dan aktif itu dapat diartikan sebagai kebijaksanaan
dan tindakan-tindakan yang diambil atau sengaja tidak diambil oleh Pemerintah
dalam hubungannya dengan negara-negara asing atau organisasi-organisasi
internasional dan regional yang diarahakan untuk tercapainya tujuan nasional
bangsa. Politik luar negeri bebas aktif inilah yang kemudian menjadi prinsip
dalam pelaksanaan politik luar negeri Indonesia pada masa pemerintahan
selanjutnya. Tentunya pelaksanaan politik luar negeri bebas aktif ini juga
disesuaikan dengan kepentingan dalam negeri serta konstelasi politik
internasional pada saat itu.