Pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), politik luar negeri
Indonesia Bersifat high profile,
flamboyan dan heroik, yang diwarnai sikap anti imperialisme dan
kolonialisme serta bersifat konfrontatif. Politik luar negeri Indonesia pada
era ini, diabadikan pada tujuan nasional Indonesia. Pada saat itu kepentingan
nasional Indonesia adalah pengakuan kedaulatan politik dan pembentukan
identitas bangsa. Kepentingan nasional itu diterjemahkan dalam suatu kebijakan
luar negeri yang bertujuan untuk mencari dukungan dan pengakuan terhadap
kedaulatan Indonesia, dan untuk menunjukan karakter yang dimiliki pada
bangsa-bangsa lain di dunia internasional.
Politik luar negeri Indonesia pada masa ini juga bersifat
revolusioner. Presiden Soekarno dalam era ini berusaha sekuat tenaga untuk
mempromosikan Indonesia ke dunia internasional melalui slogan revolusi
nasionalnya yakni Nasakom (nasionalis, agama dan komunis) dimana elemen-elemen
ini diharapkan dapat beraliansi untuk mengalahkan Nekolim (Neo Kolonialisme dan
Imperialisme). Dari sini dapat dilihat adanya pergeseran arah politik luar negeri
Indonesia yakni condong ke Blok komunis, baik secara domestik maupun
internasional. Hal ini dilihat dengan adanya kolaborasi politik antara Indonesia
dengan China dan bagaimana Presiden Soekarno mengijinkan berkembangnya Partai
Komunis Indonesia (PKI) di Indonesia. Alasan Soekarno mengijinkan perluasan PKI
itu sendiri adalah agar komunis mampu berasimilasi dengan revolusi Indonesia
dan tidak merasa dianggap sebagai kelompok luar .
Ketidaksukaan Presiden Soekarno terhadap imperialisme juga dapat
dilihat dari responnya terhadap keberadaan Belanda di Irian Barat. Tindakan
militer diambil untuk mengambil alih kembali Irian Barat ketika diplomasi
dianggap gagal. Dukungan Amerika Serikat yang kemudian didapatkan Soekarno muncul
sebagai akibat konfrontasi kedekatan Jakarta dengan Moskow. Taktik konfrontatif
ini kemudian digunakan kembali oleh Soekarno ketika terjadi konfrontasi antara
Indonesia dan Malaysia akibat pembentukan negara federasi Malaysia yang
dianggap Indonesia pro terhadap imperialisme Barat. Puncak ketegangan terjadi
ketika Malaysia ditetapkan sebagai Anggota Tidak Tetap Dewan Keamanan PBB. Hal
ini menyulut kemarahan Indonesia. Hingga akhirnya pada 15 September 1965
Indonesia keluar dari PBB karena Soekarno beranggapan bahwa PBB berpihak pada
Blok Barat. Mundurnya Indonesia dari PBB berujung pada terhambatnya pembangunan
dan modernisasi Indonesia karena menjauhnya Indonesia dari pergaulan
Internasional.
Presiden Soekarno memperkenalkan doktrin politik baru berkaitan
dengan sikap konfrontasi penuhnya terhadap imperialisme dan kolonialisme.
Doktrin itu mengatakan bahwa dunia terbagi dalam dua blok, yaitu “Oldefos” (Old
Established Forces) dan “Nefos” (New Emerging Forces). Soekarno menyatakan
bahwa ketegangan-ketegangan di dunia pada dasarnya akibat dari pertentangan
antara kekuatan-kekuatan orde lama (Oldefos) dan kekuatan-kekuatan yang baru
bangkit atau negara-negara progresif (Nefos). Imperialisme, kolonialisme, dan
neokolonialisme merupakan paham-paham yang dibawa dan dijalankan oleh
negara-negara kapitalis Barat. Dalam upayanya mengembangkan Nefos, Presiden
Soekarno melaksanakan Politk Mercusuar bahwa Indonesia merupakan mercusuar yang
mampu menerangi jalan bagi Nefos di seluruh dunia. Salah satu tindakan usaha
penguatan eksistensi Indonesia dan Nefos juga dapat dilihat dari pembentukan
poros Jakarta – Peking yang membuat Indonesia semakin dekat dengan negaranegara
sosialis dan komunis seperti China.
Faktor dibentuknya poros ini antara lain, pertama, karena
konfrontasi dengan Malaysia menyebabkan Indonesia membutuhkan bantuan militer
dan logistik, mengingat Malaysia mendapat dukungan penuh dari Inggris,
Indonesia pun harus mencari kawan negara besar yang mau mendukungnya dan bukan
sekutu Inggris, salah satunya adalah China. Kedua, Indonesia perlu untuk
mencari negara yang mau membantunya dalam masalah dana dengan persyaratan yang mudah,
yakni negara China dan Uni Soviet.